Materi Kuliah
Pengantar Teori Ekonomi Makro
Dosen Pengampu : Bayu Pramutoko,SE,MM
I. Pendahuluan
Secara umum, ilmu ekonomi berguna
karena ia memberikan petunjuk-petunjuk mengenai kebijaksanaan apa yang bisa
diambil untuk menanggulangi suatu permasalahan ekonomi tertentu. Ekonomi makro,
sebagai satu cabang dan ilmu ekonomi, berkaitan dengan permasalahan
kebijaksanaan tertentu, yaitu permasalahan kebijaksanaan makro.
Tugas pengendalian makro adalah juga
mengusahakan agar perekonomian bisa bekerja dan tumbuh secara seimbang,
terhindar dan keadaan-keadaan yang bisa mengganggu keseimbangan umum tadi.
Pengelolaan yang lebih khusus atas masing-masing sektor perekonomian bukan
bagian dan tugas pengendalian makro, meskipun menjaga keseimbangan antara
masing-masing sektor termasuk di dalam tugas tersebut.
II. Permasalahan Ekonomi Makro
Secara garis besar, permasalahan
kebijaksanaan makro mencakup dua permasalahan pokok:
a. Masalah jangka pendek atau masalah
stabilisasi. Masalah ini berkaitan dengan bagaimana “menyetir” perekonomian
nasional dan bulan ke bulan, dan triwulan ke triwulan atau dan tahun ke tahun,
agar terhindar dan tiga “penyakit makro” utama yaitu:
1) inflasi,
2) pengangguran dan
3) ketimpangan dalam neraca pembayaran.
b. Masalah jangka panjang atau masalah
pertumbuhan. Masalah ini adalah mengenai bagaimana kita “menyetir” perekonomian
kita agar ada keserasian antara pertumbuhan penduduk, pertambahan kapasitas
produksi, dan tersedianya dana untuk investasi. Pada asasnya masalahnya juga
berkisar pada bagaimana menghindari ketiga penyakit makro di atas, hanya
perpektif waktunya adalah lebih panjang (lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan
dua puluh lima tahun).
Dalam analisa jangka pendek
faktor-faktor berikut ini kita anggap tidak berubah atau tidak bisa kita ubah:
(a) Kapasitas total dan perekonomian
kita. Kegiatan investasi dalam jangka pendek, masih mungkin dilakukan, tetapi
ha nya dalam arti khusus, yaitu sebagai pengeluaran investasi berupa penambahan
stok barang jadi, setengah jadi atau pun barang mentah di dalam gudang para
pengusaha, dan pengeluaran oleh perusahaan-perusahaan untuk pembelian
barang-barang modal (mesin-mesin, konstruksi gedung-gedung dan sebagainya).
Tetapi yang perlu diingat, “jangka pendek” yang kita maksud di sini adalah
begitu pendek sehingga pengeluaran (pembelian) barang-barang modal tersebut
beleum bias menambah kapasitas produksi dalam periodesasi tersebut. (Yaitu mesin-mesin
sudah dibeli tapi belum dipasang).
(b) Jumlah penduduk dan jurnlah
angkatan kerja. Dalam suatu triwulan misalnya, jumlah-jumlah mi praktis bisa
dianggap tidak berubah.
(c) Lembaga-lembaga sosial, politik,
dan ekonomi yang ada.
Selanjutnya dari segi teori, apabila
kita ingin “menyetir” perekonomia kita dalam jangka pendek, kita harus
melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat jangka pendek pula,
misalnya dengan jalan :
- menambah jumlah uang yang beredar,
- menurunkan bunga kredit bank,
- mengenakan pajak import,
- menurunkan pajak pendapatan atau pajak penjualan,
- menambah pengeluaran pemerintah,
- mengeluarkan obligasi negara dan sebagainya.
Kebijaksanaan-kebinksanaan semacam ini
mempunyai ciri umum bahwa kesemuanya bisa dilakukan tanpa harus mengubah ketiga
faktor tersebut di atas.
Jadi seandainya kita menginginkan
kenaikan produksi dalam jangka pndek, kita bisa melakukannya dengan, misalnya:
- memperlancar distribusi bahan-bahan mentah kepada para produsen,
- mendorong pcngusaha untuk mempergunakan pabrik-pabriknya secara lebih intensif (menambah giliran kerja/shift),
- memberikan kerja lembur kepada para karyawan dan sebagainya.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini
bisa menaikkan arus produksi barang/jasa tanpa mengubah ketiga faktor di atas.
Kesemuanya ini adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan jangka pendek. Dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam inilah yang sering diandalkan untuk tujuan
stabilisasi.
Meskipun demikian perlu kita catat di
sini bahwa dalam praktek yang berkaitan antara masalah jangka pendek dan
masalah jangka panjang, adalah sangat erat, terutama bagi negara-negara sedang
berkembang. Dengan kata lain, kita seringkali tidak bisa mengkotakkan secara
jelas mana yang jangka pendek dan mana yang jangka panjang.
Di banyak negara-negara sedang
berkembang, kita tidak bisa melakukan kebijaksanaan stabilisasi yang terlepas
dan kebijaksaanaan pembangunan ekonomi (jangka panjang). Seringkali
kebijaksanaa-kebijaksanaan jangka pendek yang kita sebutkan di atas, meskipun
kita laksanakan secara setepat-tepatnyapun, tidak bisa menghilangkan secara
tuntas penyakit makro, seperti inflasi dan pengangguran yang diderita oleh
masyarakat dalam jangka pendek. Sebabnya adalah bahwa di negara-negara tersebut
seringkali penyakit iniflasi dan pengangguran tersebut berakar pada sebab-sebab
“sturuktural,” yaitu pada faktor-faktor yang hanya bisa berubah atau diubah
dalam jangka panjang dan biasanya melalui pembangunan ekonomi dan sosial.
III. Kerangka Analisa makro
Setelah kita mengetahui duduk persoalan
mengenai masalah -masalah pokok apa yang dikaji dalam ekonomi makro, maka
pertanyaan selanjutnya adalah mengetahui bagaimana mengaji masalah- masalah
tersebut sehingga bisa diperoleh jawaban yang diinginkan.
Terdapat dua aspek utama dan kerangka
analisa ini. Yang pertarna adalah aspek mengenai “apa” yang disebut kegiatan
ekonomi makro dan “di mana” kegiatan tersebut dilakukan. Yang kedua adalah
aspek mengenai “siapa” pelaku-pelakunya.
a. Empat pasar Makro
Dalam analisa ekonomi makro kita
melihat kegiatan ekonomi nasional secara lebih menyeluruh dibanding dengan apa
yang kita pelajari dalam ekonomi Mikro. Kita tidak lagi melihat pasar beras,
pasan blue jeans, pasar rokok kretek, pasar Honda secana sendiri-sendiri. mi
sesuai dengan pengertian mengenai “pengendalian umum” di alas. Di sini kita
melihat pasar-pasar tersebut dan pasar-pasar barang/jasa lainnya sebagai satu
pasar besar, yang kita beri nama “pasar barang”. Tetapi dalam ekonomi makro kita
tidak hanya mempelajari satu pasar ini saja. Perekonomian nasional kita lihat
sebagai suatu sistem yang terdiri dan empat pasar besar yang saling berhubungan
satu sama lain, yaitu:
(a) Pasar Barang
(b) Pasar Uang
(c) Pasar Tenaga Kerja
(d) Pasar Luar Negeri
Di pasar luar negeri permintaan akan
barang ekspor kita sama dengan penawaran akan barang tersebut menentukan
harga rata-rata ekspor kita dan kuantitas atau volume ekspor, Harga –
harga dikalikan volume ekspor memberikan penerimaan devisa ekspor. Di pasar
yang sama permintaan masyarakat kita akan barang-barang impor dan menentukan
harga rata-rata impor dan volume impor. Juga di sini, harga rata-rata
dikalikan volume import memberikan pengeluaran devisa kita untuk impor
barang-barang/jasa tersebut. Untuk pasar luar negeri, seringkali menggabungkan
pasar eksport dan pasar impor dan mengamai apa yang terjadi dengan:
(a)
Neraca Perdagangan, yaitu penerimaan devisa ekspor dikurangi pengeluaran devisa
untuk import atau Neraca Pembayaran apabila kila ingin pula mengetahui tentang
aliran keluar-masuknya modal
(b)
Dasar Penukaran Luar Negeri (terms of trade), yaitu harga rata-rata ekspor kita
dibagi dengan harga rata-rata impor kita.
(c)
Cadangan Devisa, yaitu persediaan devisa yang kita pun pada awal tahun plus
saldo neraca pembayaran.
Dalam teori ekonomi makro mempelajari
faktor-faktor apa yang mempengaruhi P dan Q di masing-masing pasar. Karena P
dan Q tersebut adalah hasil pertemuan (atau perpotongan) antara kurva
permintaan dan kurva penawaran, maka ini berarti bahwa teori ekonomi makro pada
pokoknya mempelajari faktor-faktor apa yang mempengaruhi posisi kurva
permintaan dan penawaran di masing masing pasar.
Selanjutnya dengan diketahuinya
faktor-faktor ini dan pengaruhnya terhadap posisi kurva permintaan dan
penawaran, maka kita selanjutnya bisa menanyakan faktor-faktor mana di antara
semua faktor-faktor tersebut yang bisa dipengaruhi oleh pemerintah melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonominya. Dengan demikian kita bisa mengetahui
kebijaksanaan-kebijaksanaan mana yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi P dan Q di masing-masing pasar. Inilah tujuan akhir dan
mempelajari teori makro, yaitu untuk digunakan sebagai petunjuk bagi pemilihan
atau perumusan kebijaksanaan.
b.Lima Pelaku Makro
Dalam teori makro kita menggolongkan
orang-orang atau lembaga-lembaga yang melakukan kegiatan ekonomi menjadi lima
kelompok besar, yaitu:
(a) Rumah Tangga,
(b) Produsen,
(c) Pemerintah,
(d) Lembaga-lembaga Keuangan,
(e) Negara-negara Lain.
Kegiatan dan kelima kelompok pelaku ini
serta kaitannya dengan keempat pasar di atas dimana :
> Permintaan :
1. Pengeluaran konsumsi oleh Rumah
Tangga
2. Belanja barang oleh Pemerintah
3. Investasi oleh Perusahaan
4. Ekspor ke luar negeri
5. Kebutuhan tenaga kerja oleh
Pemerintah
6. Kebutuhan tenaga kerja oleh
Perusahaan
7. Kebutuhan uang tunai dan kredit
8. Kebutuhan Rumah Tangga akan uang
tunai
9. Kebutuhan Perusahaan-perusahaan
Asing akan rupiah
> Penawaran
- Hasil produksi dalam negeri
- Impor dan luar negeri
- Tenaga kerja yang disediakan oleh Rumah Tangga
- Suplai uang kartal
- Tabungan Rumah Tangga
- Suplai uang giral
- Suplai dana luar negeri.
* Kelompok Rumah Tangga melakukan
kegiatan-kegiatan pokok seperti:
(a) menerima
penghasilan dan para produsen dan “penjualan” teraga kerja mereka (upah),
deviden, dan dan menyewakan tanah hak milik mereka.
(b) menerima penghasilan
dari lembaga keuangan berupa bunga atas simpanan-simpanan mereka;
(c) membelanjakan
penghasilan tersebut di pasar barang (sebagai konsumen);
(d) menyisihkan sisa dan
penghasilan tersebut untuk ditabung pada lembaga-lembaga keuangan;
(e) membayar pajak
kepada pemerintah;
(f) masuk dalam
pasar uang sebagai “peminta” (demanders) karena kebutuhan mereka akan uang
tunal untuk misalnya transaksi sehari-hari.
**Kelompok Produsen melakukan
kegiatan-kegiatan pokok berupa:
(a) memproduksikan
dan menjual barang-barang/jasa-jasa (yaitu sebagai supplier di pasar barang);
(b) Menyewa/menggunakan
faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga untuk proses
produksi;
(c) menentukan
pembelian barang-barang modal dan stok barang-barang lain (selaku investor
masuk dalam pasar barang sebagai peminta atau demander);
(d) meminta kredit dan lembaga
keuangan untuk membiayai investasi mereka (sebagai demander di pasar uang);
(e) membayar pajak.
***Kelompok Lembaga Keuangan mencakup
semua bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya kecuali bank sentral (Bank
Indonesia), Kegiatan mereka berupa:
(a) menerima
simpanan/deposito dan rumah tangga;
(b) menyediakan kredit dan
uang giral (sebagai supplier dalam pasar uang).
(c) Pemerintah
(termasuk di dalamnya bank sentral) melakukan kegiatan berupa:
- menarik pajak langsung
dan tak langsung;
- membelanjakan penerimaan
negara untuk membeli barang-barang kebutuhan pernerintah (sebagai demander di
pasar barang),
- meminjam uang dan luar
negeri;
- menyewa tenaga kerja
(sebagai demander di pasar tenaga kerja);
- menyediakan kebutuhan
uang (kartal) bagi masyarakat (sebagai supplier di pasar uang).
Negara-negara lain:
(a) menyediakan
kebutuhan barang impor (sebagai supplier di pasar barang);
(b) membeli hasil-hasil
ekspor kita (sebagai demander di pasar barang);
(c) menyediakan kredit
untuk pemerintah dan swasta dalam negeri;
(d) membeli dan pasar
barang untuk kebutuhan cabrng perusahaannya di Indonesia (sebagai investor);
(e) masuk ke dalam
pasar uang dalam negeri sebagai penyalur uang (devisa) dan luar negeri (sebagai
supplier dana) dan sebagai peminta kredit dan uang kartal rupiah untuk
kebutuhan cabang-cabang perusahaan mereka di Indonesia (demander akan dana).
(Singkatnya, sebagai penghubung pasar uang dalam negeri dengan pasar uang luar
negeri).
IV Teori-teori Makro
DASAR FILSAFAT TEORI KEYNES
Menghadapi masalah depresi dan
pengangguran yang begitu hebat, kaum sosialis di negara-negara Barat mengatakan
bahwa kesalahannya terletak pada sistem perekonomian itu sendiri, yaitu sistem
laissez faire atau liberalisme atau kapitalisme. Selama kita masih
mempercayakan pengelolaan perekonomian kita pada para rodusen swasta yang
perdefinisi hanya bertujuan mengejar keuntungan mereka pribadi, maka depresi,
pengangguran, dan juga inflasi akan tetap menjadi penyakit perekonomian yang menghantui
Kita dan waktu ke waktu. Penyakit-penyakit ini adalah konsekuensi logis dan
sistem kapitalisme. Mereka (kaum sosialis) mengusulkan perombakan sistem
perekonornian menjadi sistem sosialis, yaitu sistem di mana faktor-produksi
tidak lagi bisa dirniliki oleh pengusaha swasta, tetapi hanya bisa dimiliki
oleh negara (masyarakat). Semua kegiatan produksi dikuasai negara, yang dalam
teori paling tidak, mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan
pribadi/golongan. Motif mengejar keuntungan bukan lagi sebagai motif utama
untuk menggerakkan produksi (seperti dalam sistem kapitalis).
“Obat” semacam ini ternyata dianggap
terlalu drastis, dan orang-orang di negara-negara Barat yang sudah begitu lama
terbiasa dengan kebebasan berusaha tidak banyak yang bisa menerimanya. Mengubah
sistem semacam itu berarti mengubah cara hidup dan kebiasaan hidup yang sudah
mendarah daging pada mereka. Tentunya ada “obat” yang tidak terlalu pahit yang
bisa menolong sistem perekonomian mereka. Keynes ada pada posisi yang unik
dalam sejarah pemikiran ekonomi Barat, karena pada saat-saat krisis ideologi
semacam itu ia bisa menawarkan suatu pemecahan yang merupakan “jalan tengah”.
Keynes mengatakan bahwa untuk menolong
sistem perekonomian negara-negara tersebut, orang harus bersedia meninggalkan
ideologi laissez faire yang murni yang terkandung dalam pemikiran Klasik. Tidak
bisa tidak, demikian Keynes, Pemerintah harus melakukan lebih banyak campur
tangan yang aktif dalam mengendalikan perekonomian nasional. Pendapat bahwa peranan
Pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus seminimal mungkin sehingga tidak
merongrong hak asasi manusia, kebebasan berusaha dan mengabdikan pada
bekerjanya “natural laws”, haruslah ditinggalkan atau paling tidak diubah.
Keynes berpendapat bahwa kegiatan produk dan pemilikan faktor-faktor produksi,
masih tetap bisa dipercayakan kepada pengusaha swasta, tetapi sekarang
pemerintah wajib melakukan kebijaksanaan yang aktif untuk mempengaruhi gerak
perekonomian.
Dalam masa depresi misalnya, Pemerintah
harus bersedia (atau diperbolehkan) untuk melaksanakan program-program dan
kegiatan-kegiatan yang langsung bisa menyerap tenaga kerja yang tidak dapat
memperoleh pekerjaan di sektor swasta, meskipun hal itu hanya bisa dilaksanakan
dengan mengakibatkan defisit di anggaran belanja negara. (Perlu ditekankan di
sini bahwa pada waktu itu sistem anggaran beda yang seimbang adalah
satu-satunya sistem yang dianggap terbaik bidang pengelolaan keuangan negara).
Sebaliknya, bila terjadi inflasi yang disebabkan karena permintaan masyarakat
akan barang barang/jasa melebihi apa yang bisa diproduksikan dengan kapasitas
yang ada, Pemerintah pun harus bersedia mengurangi pengeluarannya sehingga
terjadi surplus dalam anggaran belanjanya. Surplus anggaran ini bisa merupakan
rem bagi permintaan masyarakat yang berlebihan tadi. Yang perlu digaris bawahi
di sini adalah bahwa Pemerintah harus bersedia melakukan kebijaksanaan secara
aktif dan sadar. Keynes tidak percaya akan kekuatan hakiki dari sistem laissez
faire untuk mengkoreksi diri sendiri, yaitu untuk kembali kepada posisi “full
employment” secara otomatis. Full enployment merupakan sesuatu yang hanya bisa
dicapai dengan tindakan-tindakan terencana, dan bukan sesuatu yang akan datang
dengan sendirinya. Inilah inti dan ideologi Keynesian isme.
PASAR BARANG
Kemungkinan Kelebihan Produksi. Keynes
menolak Hukum Say. Menurut Keynes kelebihan produksi secara umum bisa terjadi.
Kelebihan permintaan ini terjadi bila permintaan masyarakat akan
barang-barang/jasa tidak cukup kuat. Demand yang ada tidak cukup untuk menyerap
supply yang ditawarkan. Bagaimana ini bisa terjadi? Pada asasnya Keynes masih
menerima pendapat Say bahwa setiap proses produksi mempunyai akibat ganda,
yaitu menghasilkan output dan menghasilkan pen ghasilan kepada masyarakat sebesar
nilai output tersebut.
Dengan demikian pada suatu waktu
tertentu daya beli memang tersedia dalam jumlah yang cukup di masyarakat untuk
“membeli” barang/jasa yang diproduksikan. Tetapi daya beli yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut tidak selalu harus sama dengan daya beli yang betul-betul
dibelanjakan oleh masyarakat di pasar barang. Dengan kata lain, sebagian dan
daya beli tersebut mungkin betul-betul diterjemahkan menjadi permintaan efektif
di pasar barang. Tetapi sebagian lain dan daya beli tersebut mungkin akan
ditabung oleh masyarakat. Menabung tidak menambah permintaan efektif di pasar
barang. Jadi tidak seluruh penghasilan (daya beli) yang diperoleh masyarakat
secara langsung diter jemahkan menjadi permintaan efektif. Di sinilah Keynes
berbeda dengan Say. Say mengatakan bahwa seluruh penghasilan tersebut akhirnya
akan diterjemahkan menjadi permintaan efektif, dus tidak akan ada kekurangan
permintaan efektif, dan tidak mungkin ada kelebihan produksi secara menyeluruh.
Untuk menerangkan pendapat Keynes
secara lebih jelas kita anggap hanya ada dua sektor: sektor rumah-tangga dan
sektor produsen. Keynes mengatakan bahwa sebagian dari penghasilan yang tidak
dibelanjakan oleh sektor rumah-tangga (yaitu yang ditabung pada lembaga-lembaga
keuangan) tidak menimbulkan permintaan efektif. Hanya apabila daya beli yang
ditabung tersebut dipinjamkan oleh lembaga keuangan kepada sektor produsen
untuk membiayai “investasi” mereka, maka daya beli tersebut berubah menjadi
permintaan efektif di pasar barang. (Kita ingat bahwa “investasi” di artikan
sebagai pembelian barang-barang oleh para produsen untuk keperluan penambahan
stok di gudang mereka dan untuk keperluan perluasan kapasitas produksi mereka,
yaitu pembelian mesin-mesin, pembangunan gedung-gedung dan sebagainya). Jadi
jelas bahwa pada suatu waktu tidak ada jaminan bahwa seluruh daya beli yang
ditabung tersebut akan diterjemahkan menjadi permintaan efektif di pasar barang.
Semuanya ini tergantung kepada apakah para produsen mau mempergunakan daya beli
yang ditabung pada lembaga lembaga keuangan tersebut untuk pembelian
barang-barang (investasi). Kalau misalnya para produsen hanya mau mempergunakan
separuh dan tabungan tersebut, maka ini berarti bahwa permintaan efektif di
pasar barang berjumlah kurang dan nilai dan seluruh output yang ditawarkan di
pasar tersebut, Dengan lain kata, tida semua barang yang diproduksikan akan
terbeli (jadi ada kelebiha produksi umum).
Apa yang terjadi kemudian bila tidak
semua barang yang diproduksikan dalam suatu periode (misalnya, triwulan) bisa
terbeli? ada dua akibat yang bisa terjadi.
-
Pertama, para produsen akan mengurangi produksi mereka untuk periode
berikutnya. Jadi, GDP dalani triwulan berikutnya turun.
-
Kedua, dan ini bisa terjadi bersamaan dengan akibat pertama tersebut,
harga-harga barang turun. Sesuat dengan hukum penawaran dan permintaan biasa,
bila permintaan lebih kecil dan penawaran, maka harga cenderung untuk turun.
Sampai berapa jauh kekurangan
perrnintaan efektif akan meng akibatkan turunnya GDP (dalam periode berikutnya)
dan sampai berapa jauh akan menurunkan harga, sangat tergantung khususnya pada
apakah harga-harga barang cukup fleksibel ke bawah (yaitu bisa turun). Dalam
kenyataan memang ada barang yang harganya sulit untuk turun, meskipun ada
kelebihan produksi. ( yang harga jualnya ditentukan atas dasar biaya produksi
biasanya tidak mau turun, meskipun terjadi kelebihan produksi barang-barang
tersebut). Kalau demikian halnya, maka kekurangan permintaan efektif tersebut
akan lebih banyak mengakibatkan penurunan produksi (GDP) dalam periode berikutnya.
Apabila seandainya harga-harga cukup
fleksibel ke bawah. maka harga-harga akan turun cukup jauh, sehingga permintaan
akan barang-barang tersebut mulai naik kembali. (Ingat hukum permintaan biasa,
yang mengatakan bahwa kalau harga sesuatu barang turun maka jumlah yang
dirninta naik). Jadi kalau harga cukup flek sibel maka penurunan produksj (GDP)
pada periode berikutnya tidak akan sebesar kalau harga-harga tidak mau turun.
Jadi, lebih sedikit orang-orang yang dipecat dan pekerjaan mereka (yaitu, lebih
sedikit akibat penganggurannya) Perlu ditekankan lagi di sini bahw rnekanisme
atau proses penyesuaian dengan harga yang fleksibel inilah yang terlalu
diandalkan oleh kaum Kiasik, sehingga mereka percaya bahwa kalau saja
harga-harga fleksibel maka depresi, atau penurunan GDP (dan selanjutnya
pengangguran) akan terkoreksi secara otomatis.
Kemungkinan Kekurangan Produksi.
Keadaan sebaliknya, yaitu kekurangan produksi secara umum juga mungkin terjadi.
Kalau para produsen ternyata memutuskan untuk melakukan investasi dalam jumlah
yang lebih besar daripada daya beli yang ditabung oleh ma syarakat, maka
permintaan efektif (oleh sektor rumah tangga dan sektor produsen) di pasar
barang menjadi lebih besar dibanding dengan nilai output yang tersedia di
pasar. Yang perlu diingat di sini adalah bahwa besar kecilnya permintaan
efektif (total) sangat tergan tung pada keputusan para konsumen (rumah tangga)
men genai besar pengeluaran konsumsinya dan keputusan para produsen mengenai
besarnya investasi yang mereka ingin Iaksanakan dalam periode tersebut.
Mengenai keputusan pengeluaran konsumsi
rumah-tangga, Keynes berpendapat bahwa keputusan tersebut cukup stabil dan
biasanya hanya berubah apabila tingkat pendapatan rumah-tangga berubah. Menurut
ia (dan ini memang didukung oleh kenyataan), yang sulit diterka adalah perilaku
produsen dalam pengeluaran investasinya. Oleh sebab itu, dalam praktek, gejolak
pengeluaran investasi inilah yang sangat menentukan gejolak GDP (dan kesempatan
kerja).
Seandainya pengeluaran investasi yang
diinginkan para produsen (investor) ternyata lebih besar daripada dana yang
ditabung oleh sektor rumah-tangga, maka ini berarti bahwa permintaan efektif
lebih besar daripada nilai output yang tersedia. Dalam kasus kelebihan
permintaan efektif ini, berapa besar kelebihan permintaan efektif dalam periode
sekarang akan mengakibatkan kenaikan GDP dan berapa besar akan mengakibatkan
kenaikan harga, tergantung pada tersedianya kapasitas produksi yang belum
terpakai dalam masyarakat. Bila masih cukup banyak kapasitas produksi (pabrik
pabrik) yang belum bekerja secara penuh, maka kelebihan permintaan efektif
tersebut akan mengakibatkan kenaikan produksi (GDP) pada periode berikutnya
tanpa menaikkan harga-harga (atau harga harga mungkin naik sedikit sekali).
Tetapi apabila ternyata bahwa pabrik-pabrik sudah bekerja secara penuh, maka
kelebihan permin taan efektif tersebut tidak bisa diimbangi dengan kenaikan
produksi (GDP), sehingga kelebihan permintaan tersebut akan diterjemahkan
seluruhnya menjadi kenaikan harga-harga atau inflasi. Berikut ini kita akan
melihat secara garis besar kerangka analisis dan teori makro dan Keynes.
Pasar Uang
Teori makro Klasik mempunyai dasar
filsafat bahwa perekonomian yang didasarkan pada sistem bebas-berusaha (laissez
faire) adalah self-regulating, artinya mempunyai kemampuan untuk kembali ke
posisi keseimbangannya secara otomatis. OIeh sebab itu pemerintah tidak perlu
campurtangan.
Di pasar barang sifat self-regulating
ini dicerminkan oleh adanya proses yang otomatis membawa kembali ke posisi GDP
yang menjamin full-employment, apabila karena sesuatu hal perekonomian tidak
pada posisi ini. Landasan dan keyakinan ini adalah
(a)
berlakunya Hukum Say yang menyatakan bahwa: “Supply creates its own demand,”
dan
(b)
anggapan bahwa semua harga fleksibel.
- Di pasar tenaga kerja, dalam jangka pendek hanya ada pengangguran sukarela. Tetapi pengangguran inipun hanya bersifat sementara, karena apabila harga-harga turun (termasuk tingkat upah), maka konsumsi dan produksi akan kembali lagi ke tingkat semula (yaitu tingkat full employment).
- Di pasar uang, kaum Klasik mempunyai Teori Kuantitas, yang menyatakan bahwa permintaan akan uang adalah proporsional dengan nilai transaksi yang dilakukan masyarakat. Di pasar ini ditentukan tingkat harga umum; apabila jumlah uang yang beredar (penawaran akan uang) naik maka tingkat harga pun naik.
Dalam sistem standar kertas, tidak ada
proses otomatis yang menstabilkan tingkat harga. Di sini kaum Kiasik melihat
satu-satunya peranan makro pemerintah, yaitu mengendalikan jumlah uang yang
beredar sesuai dengan kebutuhan transaksi masyarakat.
Di dalam sistem standar emas, ada
mekanisme otomatis yang menjamin kestabilan harga. Di sini peranan pemeriniah
tidak dianggap perlu. Karena jumlah uang (emas) yang beredar otomatis
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Di pasar luar negeri, mekanisme
otomatis menjamin keseimbangan neraca perdagangan melalui:
(a) mekanisme Hume, dalam sistem
standar emas, atau
(b) mekanisme kurs devisa mengambang,
dalam sistem standar kertas.
Sementara itu Campur tangan pernerintah
tidak diperlukan. Penjelasan tentang pasar uang dapat dijelaskan sebagai berikut
:
- Pasar uang adalah pertemuan antara permintaan akan uang dengan penawaran akan uang. Permintaan akan uang adalah kebutuhan masyarakat akan uang tunai untuk menunjang kegiatan ekonominya. Sedangkan penawaran akan uang adalah jumlah uang yang disediakan oleh pemerintah dan bank-bank yaitu seluruh uang kartal dan uang giral yang beredar.
- Menurut Keynes, permintaan akan uang bersumber pada 3 macam kebutuhan akan uang: (a) kebutuhan transaksi, (b) kebutuhan berjaga-jaga dan (c) kebutuhan spekulasi. Ketiga macan kebutuhan ini disebut 3 alasan mengapa orang memerlukan uang.
- Permintaan akan uang untuk transaksi ditentukan oleh (a) volume output yang ditransaksikan (yaitu GDP nil) dan (b) tingkai harga umum. Dalam hal ini Keynes tidak berbeda dengan kaum Klasik, Pasar uang untuk berjaga-jaga relatif kecil.
- Permintaan untuk spekulasi (yang membedakan teori Key dengan teori Kuantitas) adalah permintaan akan uang tunai untuk tujuan memperoleh keuntungan. Caranya adalah dengan “berspekulasi” dalam pasar obligasi (surat berharga). Apabila harga obligasi diharapkan untuk naik di masa mendatang, maka orang akan membeli obligasi dengan uang tunainya saat ini, berarti uang tunai yang saat ini ia ingin pegang (untuk tujuan spekulasi) berkurang. Sebaliknya, apabila harga obligasi diharapkan turun, maka permintaannya akan uang tunai saat ini bertambah lebih senang menjual obligasi yang ia pegang memperoleh atau memegang uang tunai sekarang.
- Hubungan antara harga obligasi dan tingkat bunga yang berlaku adalah berkebalikan. Harga obligasi naik sama saja artinya dengan tingkat bunga turun. Sebaliknya, harga obligasi turun berarti tingkat bunga naik.
- Bila harga obligasi diharapkan naik, ini berarti bahwa harga obligasi saat ini dianggap terlalu rendah. Bila harga obligasi harapkan turun, ini berarti bahwa harga obligasi saat ini dengan harga tertinggi.
Kebijaksanaan Moneter
Kebijakan moneter adalah tindakan
pemerintah (atau bank sentral) untuk mempengaruhi situasi makro yang
dilaksanakan melalui pasar uang. Ini adalah definisi umum dari kebijakan
moneter yang bisa diartikan sebagai tindakan makro pemerintah dengan cara
mempengaruhi proses penciptaan uang. Dengan mempengaruhi proses penciptaan uang,
pemerintah bisa mempengaruhi :
- jumlah uang beredar.
- tingkat bunga yang berlaku dipasar uang. Melalui tingkat bunga pemerintah bisa mempengaruhi :
- pengeluaran investasi
- tingkat harga (P) dan GDP
Di sini kita menyoroti mata rantai yang
pertama, yaitu antara kebijaksanaan moneter dengan M Khususnya kita menanyakan
tindakan-tindakan apakah yang bisa dilakukan Pemerintah (bank sentral) untuk
mempengaruhi M (uang beredar)
Untuk menjawab pertanyaan ini kita
perlu merangkum kesimpulan-kesimpulan pokok mengenai proses penciptaan uang di
atas. Pertama, kita simpulkan bahwa jumlah uang beredar (Ms) ditentukan oleh
dua faktor, yaitu:
(a) besarnya jumlah uang inti (H) yang
tersedia, dan
(b) besarnya koefisien pelipat uang,
Kedua, kita simpulkan bahwa besarnya
uang inti dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
(a) keadaan neraca pembayaran (surplus
atau defisit)
(b) keadaan APBN (surplus atau defisit)
(c) perubahan kredit langsung Bank
Indonesia
(d) perubahan kredit likuiditas Bank
Indonesia.
Secara umum kita mengatakan bahwa
pemerintah bisa mempengaruhi Ms apabila pemerintah bisa mempengaruhi nilai
pelipat uang dan/atau jumlah uang inti.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah
untuk mempengaruhi Ms adalah apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk
mempengaruhi variabel-variabel di sebelah kanan persamaan (8) ini. Man kita
lihat satu per satu. Kita sebutkan di atas bahwa u (= K/Ms) tidak ditentukan
oleh pemerintah, tetapi diputuskan oleh masyarakat. Tetapi sebenarnya
pemerintah masih bisa mempengaruhi uang secara tidak langsung. Misalnya apabila
bank-bank pemerintah rneningkatkan bunga yang dibayar kan untuk deposito atau
giro, maka kemugkinan uang menurun (artinya, orang lebih suka memegang uang
giral daripada uang kartal). Dengan demikian money multiplier naik dan M naik.
Dalam hal ini kita mengatakan bahwa tingkat bunga untuk deposito dan giro
adalah instrumen kebijaksanaan moneter yang bisa digunakan pemerintah untuk mempengaruhi
M lewat u.
Bagaimana dengan v (= R/D)? Kita
singgung di atas bahwa selain itu pemerintah bisa mempengaruhi v melalui
penentuan cash-ratio atau reserve requirement. Apabila pemerintah ingin
mengekang M pemerintah bisa meningkatkan cash-ratio. sehingga v meningkat, yang
selanjutnya akan memperkecil nilai koefisien pelipat uang. Sebaliknya,
cash-ratio bisa diturunkan apabila pemerintah menginginkan untuk memperbesar M
Oleh sebab itu cash-ratio kita katakan pula sebagai suatu instrumen
kebijaksanaan moneter.
Sebenarnya pemerintah masih bisa
mempengaruhi v (jumlah Uang Giral) dengan cara lain, yaitu dengan
mempengaruhi excess reserve yang dipegang bank. Bagaimana caranya? Satu cara
utama adalah dengan mengubah tingkat bunga yang dikenakan oleh bank sentral
atas pinjaman yang diberikannya kepada bank-bank. (Ingat bank sentral adalah
“banknya bank” atau bankers’ bank, artinya ia bisa memberikan pinjaman kepada
bank-bank apabila mereka membutuhkan tam bahan likuiditas). Untuk pinjaman
semacam ini bank-bank harus membayar bunga. Tingkat bunga ini dikenal dengan
nama discount rate.
Apabila discount rate dinaikkan maka
bank-bank cenderung untuk menambah excess reservenya, sebab mereka tidak ingin
terlalu mengandalkan dana bank sentral untuk memenuhi kebutuhan likuiditas yang
tak terduga karena cara itu menjadi terlalu mahal. Akibatnya v (jumlah Uang
Giral) meningkat dan pelipat uang menurun. Sebaliknya, apabila
discount rate ( pengurangan rata-rata) rendah, maka bank merasa cukup aman
memegang excess reserve yang kecil, karena sewaktu-waktu mereka memerlukan dana
untuk mengatasi masalah likuiditasnya mereka bisa memperoleh dana bank sentral
dengan biaya murah. Akibatnya v (jumlah Uang Giral) turun, sehingga
pelipat uang meningkat. Jadi discount rate adalah juga instrumen ke bijaksanaan
moneter bagi pemerintah (bank sentral).
Pemerintah bisa pula mempengaruhi Ms
dengan cara mempengaruhi H (uang inti). Dengan cara: pemerintah bisa
mempengaruhi neraca pembayaran Dengan menggalakkan ekspor (misalnya, dengan
memberi ran sangan ekspor berupa penurunan pajak ekspor atau pemberian
sertifikat Ekspor) dan mengurang impor. (misalnya dengan menaikkan bea masuk),
pemerintah bisa menciptakan surplus neraca pembayaran. ini akan menambah uang
inti yang tersedia di masyarakat, Sehingga Ms meningkat. Jadi pajak ekspor,
Sertifikat Ekspor, bea masuk, adalah instrumen kebijaksanaan moneter.
Pemerintah bisa dengan lebih langsung
mempengaruhi APBN . Apabila dikehendaki Ms meningkat, APBN bisa dibuat defisit.
baliknya, apabila M dikehendaki turun, maka APBN harus dibuat surplus. Jadi,
APBN adalah juga instrumen kebijaksanaan moneter. Demikian pula pemerintah bisa
mempengaruhi M (uang bereedar) dengan mengendalikan kredit langsung dan kredit
likuiditas bank sentralnya, misalnya dengan menetapkan batas maksimum yang bisa
diberi n (credit ceiling) atau dengan menaikkan (atau menurunkan) tingkat bunga
kredit bank.
Sebenarnya ada berbagai variasi
instrumen lain yang bisa digunakan pemerintah untuk mempengaruhi Ms lewat baik
money multiplier maupun jumlah uang inti. Apa yang kita sebutkan di atas ada
beberapa instrumen-instrumen pokoknya. Kita tidak bicarakan instrumen-instrumen
lain tersebut di sini, karena lebih cocok untuk bahas dalam Ekonomi Moneter.
KEBIJAKSANAAN FISKAL
Kebijaksanaan fiskal adalah
kebijaksanaan yang kedua dibidang pengendalian makro adalah. Kebijaksanaan
moneter dan kebijaksanaan fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat
utama bagi perencana ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro
perekonomiannya. Keduanya sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga
dalam praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga
mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter dengan
konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini mungkin
lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.
Pembahasan ini diawali mengenai
hubungan antara APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini sejalan dengan
pengertian umum bahwa kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilaksanakan
lewat APBN. Dalam bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dan
suatu “kebijaksanaan fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN
tertentu, ter hadap perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah contoh
untuk menunjukkan bagaimana kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu
kebijaksanaan fiskal dengan menggunakan aijabar sederhana.
APBN DAN KEBIJAKSANAAN FISKAL
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap
perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu:
(a) Bagaimana suatu kebijaksanaan
uiskal diterjemahkan men jadi suatu APBN dan
(b) Bagaimana APBN tersebut
mempengaruhi perekonomian.
Dalam bagian mi kita akan mengaji tahap
(a). Khususnya kita akan membahas makna dan suatu kebijaksanaan fiskal dilihat
dari struktur pos-pos APBN.
APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi
yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaan. Sisi pengeluaran
mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan uang untuk pelaknaannya.
Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka ragam
dan mencerminkan apa yang ingin dilaknakan pemerintah dalam programnya. Untuk
tujuan pembahasan
Dibagian lain terdiri dan pos utama,
yaitu:
- Pengeluaran pernerintah untuk pembelian barang/jasa,
- pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya,
- pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yang ini liputi misalnya, pembayaran subsidi/bantuan Iangsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Semua pos pada sisi pengeluaran
tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi penerimaan menunjukkan
darimana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk
memperoleh dana tersebut, yaitu:
(a) pajak (berbagai macam),
(b) pinjaman dan bank sentral,
(c) pinjaman dan masyarakat dalam
negeri,
(d) pinjaman dan luar negeri.
Dahulu pajak adalah satu-satunya sumber
untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Tidak ada pajak tidak ada kegiatan
pemerintahan. Sekarang, pajak masih merupakan sumber keuangan negara yang
paling penting bagi semua negara di dunia. Namun bagi pemerintah di
negara-negara modern ada bebeapa cara lain untuk memperoleh dana tambahan. Yang
pertama, pemerintah bisa “meminjam” dana dan bank sentralnya, seperti halnva
seseorang mengambil kredit dart bank. Tetapi ada satu perbedaan penting antara
kredit bank sentral kepada pemerintah dengan kredit bank kepada seseorang atau
perusahaan. Perbedaan ini adalah bahwa bank sentral hanya bisa memberikan
kredit dengan jalan menciptakan uang inti (reserve money). Bank sentral tidak
bisa menciptakan uang giral seperti bank-bank umum biasa, sebab “uang giral”
bank sentral.
Dan penambahan uang inti (L berarti
(lewat money multiplier) penambahan jumlah uang beredar (L OIeh sebab itu dalam
ungkapan yang lebih populer, pemberian kredit bank sentral kepada pemerintah
adalah identik dengan pencetakan uang baru. (Yang lebih tepat sebenarnya adalah
penciptaan uang inti baru).
Cara lain untuk memperoleh dana adalah
meminjam dan masyarakat dalam negeni. Caranya adalah dengan mengeluarkan
obligasi dan menjualnya di pasar uang dalam negeri*). Bila masyarakat (termasuk
bank-bank) membeli surat berharga ini maka pemerintah memperoleh dana yang
semula ada di tangan masyarakat (dan sebagai gantinya, masyarakat memegang
obligasi pemerintah). Cara ini disebut open market operations (operasi pasar
terbuka). Biasanya bank sentral bertindak sebagai “agen” pemerintah dalam
melakukan open market operations. Cara ini hanya bisa dilakukan di
negara-negara yang sudah memiliki pasar surat berharga (bursa efek dan saham)
yang sudah maju. Bagi negara-negara sedang berkem bang pasar semacam itu belum
berkembang, sehingga kebijaksanaan open market operations hanya mempunyai
kegunaan yang terbatas. Bagi negara-negara maju, open market operations adalah
suatu cara pembelanjaan keuangan negara yang sangat penting.
Cara yang terakhir untuk memperoleh
dana adalah dengan meminjam dan luar negeri. Yang dilakukan di sini adalah
“mengambangkan” obligasi pemerintah di pasar uang luar negeri (misalnya,
pemerintah Indonesia telah menjual obligasinya di pasar uang Hamburg dan
Tokyo). Dalam hal mi pemerintah Indonesia menerima dana (dalam bentuk matauang
asing atau “devisa”) dan si pembeli di luar negeri menerirna surat tanda
berhutang (“obligasi”) pemenintah Indonesia (beserta janji kapan membayar
kembali dan dengan bunga beberapa). Cara mi lebih cocok apabila pemerintah
membutuhkan dana dalam bentuk devisa (misalnya, untuk membiayai kebutuhan
impornya).
Cara di atas adalah untuk memperoleh
“kredit komersial” dan luar negeri, yaitu pinjaman dengan bunga seperti yang
berlaku di pasar pada saat itu. Bagi beberapa negara, kredit komersial mungkin
mungkin dirasa cukup berat, dilihat dan persyaratan pembayaran bunga maupun
jangka waktu pengembaliannya. Khusus bagi negara sedang berkembang tersedia
kemungkinan untuk memperoleh “kredit lunak”, yaitu pinjaman dengan bunga di
bawah bunga yang berlaku di pasar uang dan dengan jangka waktu yang lebih
longgar.*)
Pemberi kredit ini adalah pemerintah
negara-negara maju yang memang mempunyai program untukmembantu pembangunan
negara negara berkembang, yaitu negara-negara “donor”, dan lembaga lembaga
keuangan internasional yang bertujuan membantu negara negara berkembang
(seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, Dana Moneter Internasional (IMF),
dan sebagainya).
Sebagai contoh, APBN suatu negara bisa
berbentuk seperti berikut: APBN, Negara X, 1981/1982 (dalam Rp milyar), Dari
segi pembukuannya, APBN selalu seimbang: pengeluaran total adalah 2.300 dan
penerimaan total juga 2.300. Perubahan kebijaksanaan fiskal ditunjukkan oleh
adanya perubahan jumlah untuk masing-masing pos. Meskipun jumlah total
(pengeluaran dan penerimaan) sama, kita bisa mempunyai kebijaksanaan fiskal
yang berbeda apabila struktur angka-angka untuk pos-pos APBN berbeda. Dan
memang, kita tidak bisa melihat pengaruh dan suatu APBN hanya dengan melihat
nilai totalnya saja. (sebab nilai ini menurut prinsip akuntansinya harus selalu
seimbang). Kita bisa mengatakan bahwa APBN defisit, surplus atau seimbang dalam
arti ekonomis hanya apabila kita meneliti struktur angka-angkanya.
Ada beberapa pengertian yang berbeda
mengenai apa yang di maksud suatu APBN defisit, surplus atau seimbang.
Masing-masing pengertian mempunyai arti ekonomis (dan implikasi makro) yang berbeda
satu sama lain. Kita harus memilih pengertian yang sesuai dengan tujuan analisa
kita atau dengan problema yang kita soroti. Contoh di atas (dengan kriteria
manapun) menunjukkan situasi APBN defisit. Pengertian yang “paling ketat”
mengatakan bahwa defisit APBN terjadi apabila seluruh pengeluaran pemerintah
tidak bisa dibiayai oleh sumber keuangan negara yang paling utama, yaitu pajak.
Dalam contoh di atas, pengeluaran total adalah 2.300 sedang penerimaan pajak
hanya 1.200, jadi terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 1.100.
Pengertian defisit yang kedua dan yang
“kurang ketat” mengatakan bahwa APBN defisit apabila penerimaan pajak plus
pinjaman pemerintah dan masyarakat dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai
seluruh pengeluaran pemerintah. Dalam contoh di atas, pajak plus pinjaman mi
berjumlah 1.400, sehingga terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 900.
Mengapa pinjaman dan masyarakat dalam
negeni dianggap sebagai sumber dana yang “wajar”? Pertama, karena ini adalah
pinjaman pemerintah terhadap warganya sendiri, sehingga ada perasaan bahwa
pinjaman ini “wajar”. Alasan kedua, yang secara ekonomis lebih penting, adalah
bahwa pinjaman semacam ini tidak menambah jumlah uang beredar di dalam negeri,
karena dana yang diperoleh pemerintah adalah dana yang sebelumnya ada di ta
ngan masyarakat (yaitu, hanya terjadi pengalihan hak penggunaan dana yang
tersedia). Ciri ini mempunyai implikasi penting bagi pengaruh kebijaksanaan
fiskal terhadap perekonomian (seperti yang akan kita bahas nanti).
Pengertian yang paling “lunak” mengenai
defisit APBN menga takan bahwa defisit APBN hanya terjadi apabila pajak +
pinjaman dan masyarakat dalam negeri + pinjaman dan luar negeri tidak mencukupi
untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dengan lain perkataan, defisit
APBN terjadi apabila pemerintah harus meminjam dan bank sentral atau, secara
populer, harus men cetak uang baru untuk membiayai pengeluarannya. Dalam contoh
di atas, defisit menurut pengertian ini adalah 300.
Berbagai pengertian mengenai APBN
surplus dan seimbang juga bisa digolongkan sejalan dengan pengertian mengenai
defisit di atas. Kesimpulan umum mengenai uraian kita sampai saat mi adah bahwa
kita harus berhati-hati dan mempunyai konsepsi jelas mengu nai pengertian mana
yang kita maksud apabila kita mengatakan te jadi defisit atau surplus APBN.
Selain itu jelas pula dan uraian di atas bahwa cara membiayai pengeluaran
pemerintah menentukan sekali akibat APBN terhadap perekonomian. Bermacam-macam
pengeluaran sangat menentukan pula pengaruh APBN terhadap perekonomian Hanya
melihat angka “total”nya saja, kita tidak bisa menilai konsekuensi APBN bagi
perekonomian.
I N F L A S I
Inflasi merupakan salah satu masalah
ekonomi yang banyak mendapatkan perhatian para pemikir ekonomi. Pada asasnya
inflasi merupakan gelaja ekonomi yang berupa naiknya tingkat harga.
Definisi inflasi :
Inflasi adalah kecenderungan dari
harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi.
Indikator Inflasi :
- Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.
- Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.
Didasarkan kepada sumber penyebabnya,
menurut Soediyono R. : inflasi dapat digolong-golongkan sebagai berikut:
(a) Inflasi permintaan. Istilah untuk
inflasi semacam ini antara lain ialah demand-pull inflation. inflasi tarikan
permintaan dan demand inflation.
(b) inflasi penawaran. lstilah lain
yang hanyak dipakai untuk inflasi sernacam mi ialah cost-push inflation dan
supply inflation.
(c) Inflasi campuran, yaitu inflasi
yang mempunyai baik unsur demand pull maupun cost push. Inflasi semacam ini
sering disebut mixed inflation.
Inflasi Permintaan
Sebagai langkah pertama macam inflasi
yang merupakan pusat perhatian kita ialah inflasi permintaan, yang ini terkenal
dengan sebutan demand full inflation. Seperti tersirat dalam namanya, inflasi
permintaan timbul sebagai akibat dan meningkatnya permintaan agregatif. Ada
beberapa Icon atau model analisis ekonomi yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori inflasi permintaan. Beberapa di antaranya yang uraian singkatnya
disajikan di bawah mi ialah:
(a) pendekatan teori kuantitas uang,
(b) pendekatan celah inflasi,
(c) pendekatan IS-LM, dan
(d) pendekatan permintaan -penawaran
agregatif
1. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan
Teori Kuantitas Uang
Teori kuantitas uang berpendapat bahwa naik-turunnya
tingkat harga disebabkan oleh naik-turunnya jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian. Sebagai akibat dan meningkatnya jumlah saldo kas yang dimiliki
oleh rumah-rumah tangga dikarenakan oleh meningkatnya jumlah uang yang beredar,
angka banding antara jumlah saldo kas dengan besarnya pendapatan dirasakan
menjadi terlalu tinggi. Untuk mengurangi kelebihan saldo kas tersebut, menurut
teori kuantitas uang, rumah tangga akan langsung menggunakannya untuk
memperbesar pengeluaran konsumsi mereka. ini dengan sendirinya mengakibatkan
meningkatnya permintaan agregatif. Dengan mendasarkan kepada asumsi kesempatan
kerja penuh atau full employment, maka meningkatnya permintaan agregatif akan
mengakibatkan naiknya tingkat harga. Dengan kata lain, terjadilah inflasi.
Sebagai akibat dan adanya inflasi nilai
nyata saldo kas akan menurun. Proses inflasi terus terjadi sampai tercapai
keadaan di mana angka banding antara jumlah saldo kas nyata dengan pendapatan
nyata kembali ke ketinggian semula. Inflasi akan terhenti di sini, kecuali
kalau terjadi lagi penambahan jumlah uang yang beredar.
2. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan
Analisa Celah inflasi
Masalah celah inflasi atau inflationary
gap bahwa inflation gap terjadi apabila besarnya investasi yang terjadi
melebihi penabungan atau saving pada tingkat pendapatan fuII-employmen,
pernyataan tersebut tepat kalau diterapkan untuk perekonomian tertutup. dalam
keadaan di mana besarnya permintaan agregati,f yaitu hasil penjumlahan (C + 1 +
G + X — M), melebihi kapasitas produksi nasional, yang biasa disebut juga
full-employment income.
3. Inflasi Permintaan dengan
Pendekatan IS-LM
Menerangkan inflasi dengan menggunakan
pendekatan IS-LM tersebut ialah bahwa masing-masing dimaksudkan untuk
menerangkan dua hal, yaitu:
(a) penentuan tingkat pendapatan
nasional ekuilibrium,
(b) penentuan tingkat harga dengan
tingkat pendapatan nasional ekuilibrium seperti yang uraian atau perhitungannya
disajikan oleh butir .
Oleh karena semua variahel yang
diperhatikan dalam analisis silang Keynes tersebut. mengenai pengukurannya
semuanya sama, yaitu masing-masing diukur dalam rupiah per satuan waktu.
Analisis IS-LM di lain pihak sebagian dan vaniabelnya; yaitu variabel investasi
dan variabel permintaan uang untuk spekulasi, ditentukan oleh tingkat bunga,
yang pengukurannya tidak dalam rupiah per satuan waktu, melainkan dalam
persentase persatuan waktu.
Menurut Boediono : Kedua macam inflasi yaitu inflasi
permintaan dan inflasi penawaran itu jarang sekali dijumpai dalam praktek
dengan bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi Yang tenjadi di berbagai negara
di dunja adalah kombinasi dan kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali
keduanya saling memperkuat satu sama lain. Atau disebut inflasi campuran yang
mempunyai baik unsur demand—pull maupun cost—push. Inflasi semacam ini sering
disebut mixed inflation.
Penggolongan Yang ketiga adalah
berdasarkan asal dari inflasi Di sini kita bedakan:
(1) inflasi Yang berasal dan dalam
negeri (domestic Inflation)
(2) Inflasi Yang berasal dan luar
negeri (imported inflalion)
Inflasi yang berasal dan dalam negeri
timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan
uang baru, panenan Yang gagal dan sebagainya Infiasi yang berasal dan luar
negeri adalah inflasi Yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi)
di luar negeri atau di Negara negara tetangga berdagang dengan negara
kita. Akibat kenaikan harga barang barang yang kita Inpor :
(1)
secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dan barangbarag
yang tercakup di dalamnya berasal dan impor.
(2)
secara tidak langsung menaikkan indeks harg melalui kenajkan ongkos produksj (dan
kemudian, harga jual) dan berbagal barang Yang menggufl bahan mentah atau
mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation).
(3)
secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena ada
kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang
impor kenaikan Pengeluaran Pemerintah dan swasta yang berusaha mengimbangi
kenaikan harga impor tersebut disebut demand inflation.
“Penularan’ inflasi dan luar negeri ke
dalam negeri bisa pula lewat kenaikan harga barang-barang ekspor dan saluran
saluran hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga
barang-barangg impor :
(1)
Bila harga barang-barang ekspor ,seperti kopi, teh , naik, maka indeks biaya
hidup akan naik pula sebab banang-barang ini langsung masuk dalam daftar
barang-barang yang tercakup dalam indeks harga.
(2)
Bila harga barang- barang ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya)
naik, maka ongkos produksi dan barang-barang yang menggunakan barang-barang
tersebut dalam produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan Sebagainya) akan
naik, dan kemudian harga jualnya akan naik pula (cost-inflation).
(3)
Kenaikan harga barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan eksportir (dan
juga para produsen barangbarang ekspor tersebut). Kenaikan penghasilan ini
kemudian akan dibelanjakan untuk membeli barang-banang (baik dan dalam maupun
luar negeri). Bila jumlah barang yang tersedia di pasar tidak beitambah, maka
harga-harga barang lain akan naik pu1a (demand inflation).
Penularan inflasi dan luar negeri ke
dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada negara-negara yang
perekonomiannya terbuka, yaitu yang sektor perdagangan luar negerinya penting
(seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia dan sebagainya ). Namun
berapa jauh penularan tersebut terjadi juga tergantung kepada kebijaksanaan
penierinlah yang diambil. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter dan
perpajakan tertentu pemerintah bisa menetralisir kecenderungan inflasi yang
berasal dan luar negeri.
Disagregasi Inflasi :
- Inflasi
Inti >Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental:
– Interaksi permintaan-penawaran
– Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
– Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
2. Inflasi non Inti >Yaitu inflasi
yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Dalam hal ini terdiri dari :
- Inflasi
Volatile Food.
Inflasi yang dipengaruhi shocks dalam kelompok bahan makanan seperti panen, angguan alam, gangguan penyakit. - Inflasi
Administered Prices
Inflasi yang dipengaruhi shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan, dll
Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan
dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand
pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost
push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi
luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price)1 , dan
terjadi negative supply shocks2 akibat bencana alam dan
terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull
inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediaannya. Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate
demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor
ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi
apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini
tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang
terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan
tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).
TIMBULNYA INFLASI
“inflasi” semata-mata suatu gejala
ekonomi, dimana kecenderungan harga-harga untuk naik secara bersamaan.
Sebab-sebab timbulnya inflasi khusus dari segi ekonomi; dan penentuan
sebab-sebab “ekonomis obyektif” ini mungkin bukanlah tugas yang paling sukar.
Biasanya kita harus melampaui batas-batas ilmu ekonomi dan memasuki bidang ilmu
sosiologi dan ilmu politik.
Masalah inflasi dalam arti yang lebih
luas bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi masalah sosio-ekonomi-politis.
Ilmu ekonomi membantu kita ntuk mengidentifikasikan sebab-sebab obyektif
dari inflasi, misalnya saja karena pemerintah mencetak uang terlalu hanyak.
Kalau kita mempertanyakan mengapa pemerinlah harus mencetak uang, meskipun mereka
tahu bahwa tindakan tersebu mengakibatkan inflasi .seringkali jawabannya
terletak di bidang sosial politik.
Secara garis besar ada 3 kelompok teori
mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu, Ketiga teori
ini adalah:
- Teori kuantitas
- Teori Keynes
- Teori Strukturalis
Teori Kuantitas adalah teori yang
paling tua mengenai inflasi, namun teori ini (yang akhir-akhir ini mengalami
penyempurnaan-penyempurnaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas Chicago)
masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern in
terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan
dalam proses inflasi yaitu :
(a)
jumlah uang yang beredar
(b)
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).
Inti dari teori ini adalah sebagai
berikut:
- Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti, misalnva, kegagalan panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk semenlara waktu saja. Penambahan jumlah uang ibarat “bahan bakar” bagi api inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab musabab awal dan kenaikan harga tersebut.
- Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.
Terdapat 3 kemungkinan keadaan. Keadaan
yang pertama adalah bila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan
harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal mi, sebagian besar
dan penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk
menamhah likuiditasnya (yaitu, memperbesar pos Kas dalam buku neraca para
anggota masyarakat). ini berarti bahwa sebagian besar dan kenaikan jumlah uang
tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. berarti bahwa tidak akan
ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi tidak ada
kenaikan harga barang-barang (atau harga-harga mungkin naik sedikit sekali).
Dalam keadaan seperti ini, kenaikan
jumlah uang yang beredar sebesar 10% diikuti oleh kenaikan harga-harga sebesar,
misalnya 1 %. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai
dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung.
A. Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank
Sentral adalah :
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam
perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih
fokus dalam pencapaian “single objective”-nya.
Yang dimaksud dengan kestabilan nilai
rupiah adalahKestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai
tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang
secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu :
- tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan
- tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran.
Dalam hal ini, BI hanya memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan,
sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau,
distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh
karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan
stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi,
baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya
tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan.
Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan
dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah
menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.
B. Pentingnya kestabilan harga
Pentingnya pengendalian inflasi
didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil
memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
- Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
- Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa
inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan
konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi
dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga
domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada
nilai rupiah.
C. Peran Kebijakan Moneter
Mengendalikan Inflasi
Mengingat tugas spesifik yang diemban
oleh Bank Indonesia seperti tersebut di atas, Bank Indonesia tidak sepenuhnya
dapat mengendalikan inflasi, terutama tekanan inflasi yang berasal dari sisi
penawaran (cost push inflation). Bank Indonesia, melalui kebijakan
moneter, dapat mempengaruhi inflasi dari sisi permintaan, seperti investasi dan
konsumsi masyarakat. Misalnya, kebijakan kenaikan suku bunga dapat menge-‘rem’
pengeluaran masyarakat dan pemerintah sehingga dapat menurunkan permintaan
secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat menurunkan inflasi. Selain itu,
kenaikan suku bunga ini dapat menguatkan nilai tukar melalui peningkatan (positive)
interest rate differential. Demikian juga, Bank Indonesia dapat
mempengaruhi ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang konsisten dan
kredibel. Harapannya adalah sasaran (target) inflasi Bank Indonesia diacu oleh
masyarakat dan pelaku ekonomi sehingga inflasi yang terjadi dapat sama atau
mendekati sasaran inflasi. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian
moneter dapat diminimalkan.
Secara teori, kebijakan moneter dapat
ditransmisikan melalui berbagai jalur (channel), yaitu jalur suku bunga,
jalur kredit perbankan, jalur neraca perusahaan, jalur nilai tukar, jalur harga
aset, dan jalur ekspektasi. Dengan melewati jalur-jalur tersebut, kebijakan
moneter akan ditransmisikan dan berpengaruh ke sektor finansial dan sektor riil
setelah beberapa waktu lamanya (lag of monetery policy) .
Selain kebijakan moneter yang bersifat
“langsung” seperti di atas, bank sentral juga dapat mempengaruhi tujuan
akhirnya secara “tidak langsung”, yaitu melalui berbagai regulasi dan himbauan
(moral suassion) kepada sektor perbankan guna mempercepat mekanisme
transmisi kebijakan moneter.
Dalam melaksanakan pengendalian moneter
Bank Indonesia diberikan kewenangan dalam menggunakan instrumen moneter berupa
tetapi tidak terbatas pada (i) Operasi Pasar Terbuka (open market operation),
(ii) penetapan tingkat diskonto (discount rate), (iii) penetapan Giro
Wajib Minimum (minimum reserve requirement), dan (iv) pengaturan kredit
atau pembiayaan.
D. Alasan Perubahan Kerangka Kerja Sebelumnya
(Base Money Targetting)
Sejak dilepasnya sistem crawling
band, Bank Indonesia mentargetkan base money (base money
targeting) dalam kerangka kebijakan moneternya. Kerangka tersebut tidak
terlepas dari upaya Bank Indonesia untuk menyerap kembali kelebihan likuiditas
di perbankan sebagai dampak dari adanya bantuan likuiditas Bank Indonesia
sebagai konsekuensi fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan program moneter ini diformalkan
sebagai bagian dari program IMF.
Base money targeting framework
didasarkan pada teori kuantitas uang (quantity theory of money), yaitu
MV=PY4 . Efektivitas kerangka ini sangat tergantung kepada
stabilitas velocity uang beredar baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Selain itu, framework ini akan berjalan baik apabila (i)
hubungan antara base money dan inflasi stabil, dan (ii) bank sentral dapat
mengendalikan uang kartal.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
menghadapi permasalahan dalam menggunakan framework ini. Hal ini disebabkan
oleh :
- Hubungan M0 dengan P dan Y tidak stabil, karena terdapat perubahan struktural pasca krisis5 .
- Seolah-olah terdapat dua nominal anchor, yaitu pencapaian sasaran inflasi dan target base money
- Respon kebijakan moneter cenderung backward looking.
- Cukup sulit mengendalikan base money, karena sebagian besar komponennya terdiri dari uang kartal yang perilakunya lebih dipengaruhi oleh permintaan (demand determined)6.
Berbagai perubahan-perubahan struktural
pasca krisis antara lain ditandai dengan :
- Penerapan floating exchange rate yang menyebabkan volatilitas nilai tukar yang lebih tinggi
- Restrukturisasi dan fungsi intermediasi perbankan terkait dengan program rekapitalisasi dan pergeseran portfolio aset dari kredit ke obligasi
- Permasalahan sektor riil yang mengakibatkan turunnya permintaan kredit.
- Munculnya berbagai inovasi produk perbankan, diantaranya reksadana.
Studi di Bank Indonesia menyimpulkan
bahwa akibat adanya perubahan struktural di atas, peran suku bunga menjadi
semakin penting (dibandingkan dengan uang beredar) dalam mempengaruhi inflasi.
Untuk itu, perlu dilakukan peninjauan ulang dan perubahan formulasi kerangka
kerja kebijakan moneter (monetary policy framework) Bank Indonesia yang
selama ini telah dianut, dari pendekatan yang sifatnya pragmatis (eclectic
approach) ke dalam suatu framework baru yang sesuai dengan
prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
E. Prinsip-Prinsip Kebijakan Moneter
yang Sehat
(i)
Mempunyai satu tujuan akhir yang diutamakan (overriding objective),
yaitu sasaran inflasi, sebagai kontribusi pokok kebijakan moneter dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, sasaran inflasi ditetapkan
dengan mempertimbangkan pengaruhnya (trade-off) dengan pertumbuhan
ekonomi.
(ii)
Kebijakan moneter bersifat antisipatif atau forward looking, yaitu
dengan mengarahkan kebijakan moneter yang ditempuh saat ini diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan pada periode yang akan datang mengingat
adanya efek tunda (lag) kebijakan moneter.
(iii)
Mengikatkan diri kepada suatu mekanisme tertentu dalam membuat pertimbangan
penentuan respon kebijakan moneter (constrained discretion). Dalam
penetapan respon kebijakan moneter, bank sentral mempertimbangkan prakiraan
inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta berbagai variabel lain. Termasuk
pertimbangan mengenai kebijakan ekonomi Pemerintah dalam kerangka koordinasi
kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain.
(iv)
Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance),
yaitu berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas.
F. Inflation Targeting Framework (ITF)
Definisi ITF > ITF merupakan
sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik
mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan.
Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil Merupakan
tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya
UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “Inflation
Targeting lite countries”.
Alasan pemilihan ITF
- Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
- Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
- Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
- Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.
- Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.
- Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
- Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
G. Sasaran Inflasi
- Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Penetapan sasaran inflasi tersebut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (trade-off) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
- Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8% ±1%, 6%±1%, dan 5,0%±1%. (Berdasarkan siaran pers : Rapat Koordinasi Bidang Makroekonomi tanggal 17 Maret 2006). Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3% agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya .
H. Indikator Kebijakan Moneter
- Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.
- Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.
- Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
I. Respon Kebijakan Moneter
- Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:
- Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).
- Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.
- Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.
- Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan
- BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.
- BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
- BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka yang lebih panjang.
- Proses penetapan respon kebijakan moneter
- Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.
- Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.
- Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
- Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.
- Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan
- BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
- BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:
- Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan
- Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
- Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
J. Operasi Pengendalian Moneter
- Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan moneter.
- Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen:
(i)
Operasi Pasar Terbuka (OPT),
(ii)
Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities),
(iii)
Intervensi di pasar valas,
(iv)
Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan
(v)
Himbauan moral (moral suassion).
- Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
K. Koordinasi dengan Pemerintah
- Koordinasi dengan Pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter Bank Indonesia sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah dibidang perekonomian dengan tetap menjaga tugas dan wewenang masing-masing.
- Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam penetapan sasaran inflasi dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara Pemerintah (cq. Menteri Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya adalah:
- Bank Indonesia menyampaikan usulan Sasaran Inflasi kepada Pemerintah selambat-lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum periode sasaran inflasi berakhir.
- Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi yang telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka Bank Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
- Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah minimum regional, gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor. Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan hukum) juga secara tidak langsung turut mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan komitmen pengendalian inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas kertas akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi “milik bersama”. Jika sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia dan Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi tersebut. Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan lebih mudah menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka menengah dan panjang, tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu besar.
- Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah membentuk tim penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi (selanjutnya disebut Tim Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan beberapa departemen teknis. Adapun tugas tim tersebut antara lain mencakup pemberian usul mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi sumber-sumber dan potensi tekanan inflasi serta dampaknya terhadap pencapaian sasaran inflasi, merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung pencapaian sasaran inflasi, serta melakukan diseminasi mengenai sasaran dan upaya pencapaian sasaran inflasi kepada masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim Pengendalian Inflasi ini akan meningkatkan koordinasi antara otoritas moneter dengan Pemerintah secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi menjadi tujuan bersama yang credible dan achievable.
- Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam penetapan asumsi-asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik melalui rapat koordinasi dengan Departemen Keuangan (dan instansi terkait) maupun dalam pembahasan dengan DPR.
- Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di bidang perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun pertemuan-pertemuan lainnya sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi.
L. Transparansi
- Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam membentuk ekspektasi dan pencapaian sasaran inflasi.
- Komunikasi kebijakan moneter mencakup pengumuman dan penjelasan pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah kebijakan moneter yang telah dan akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur.
- Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dengan cara termasuk dan tidak terbatas pada siaran pers, konperensi pers (terutama segera setelah RDG Triwulanan untuk menjelasankan respon kebijakan moneter), publikasi (termasuk penerbitan “Laporan Kebijakan Moneter” atau “Inflation Report”), maupun penjelasan langsung kepada masyarakat.
- Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas termasuk dan tidak terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan pakar dan akademisi.
M. Akuntabilitas
- Pertanggung-jawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah ditetapkan dalam UU.
- Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan Moneter (“Monetary Policy Report” atau “Inflation Report”) secara triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang perlu.
- Laporan Kebijakan Moneter disampaikan pula kepada Pemerintah dan masyarakat luas untuk transparansi dan koordinasi.
- Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank Indonesia menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada DPR dan masyarakat yang dilakukan paling lambat Februari tahun berikutnya.
N. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK )
Istilah Stabilitas Sistem Keuangan
(SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku secara internasional. Oleh karena
itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa
suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem
tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini
dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:
- 1. SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan.”
- 2. SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
- 3. SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.”
Meskipun definisi yang seragam mengenai
SSK belum ada, namun untuk memahami lebih jauh soal ini, dapat dilakukan dengan
meneliti faktor-faktor yang dapat menganggu stabilitas itu sendiri.
Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan
gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik
karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat
bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Sistem
keuangan secara umum terdiri dari pasar, lembaga dan infrastruktur. Risiko yang
sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.
Meningkatnya kecenderungan globalisasi
sektor finansial yang didukung oleh perkembangan teknologi menyebabkan
sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan batas
wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam dengan
kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat
mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem keuangan meningkat
dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi
ketidakstabilan tersebut.
Identifikasi terhadap sumber
ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat
kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul
serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil
identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh
risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan bersifat sistemik
sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.
Dua Model Perekonomian
Dalam menganalisa suatu perkenomian,
dikenal dua model perekonomian, yaitu perekonomian tertutup dan perekonomian
terbuka.
Perekonomian tertutup
Adalah model perekonomian yang pada
pelakunya, khususnya Produsen dan Konsumen, secara sederhana akan melakukan
kegiatan dalam penjualan dan pembelian di pasar yang saling melengkapi untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya masing-masing. Dalam transaksi pasar
tersebut, mereka akan terikat dengan kontrak dagang atau kesepakatan jual beli,
dan kemudian ditetapkanlah harga jual atau harga beli dari kegiatan tersebut.
Untuk memfasilitasi kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi ini secara
efektif maka sistem perekonomian memerlukan Lembaga perbankan dan lembaga
keuangan lainnya seperti pasar modal, lembaga asuransi, lembaga penjamin,
pegadaian atau lembaga keuangan mikro yang terdapat di daerah pedesaan. Lembaga
Perbankan peranannya sangat vital untuk mengumpulkan dana-dana yang ada di
masyarakat, yang selanjutnya mereka akan melakukan pengalokasian dana tersebut
melalui pemberian fasilitas perkreditan atau jasa perbankan lainnya. Hal
ini dikatakan ekonomi pasar tertutup, karena didalamnya belum
termasuk peran luar negeri dalam sistem ekonomi tersebut.
Pada sistem ekonomi yang terbuka,
Terdapat kemungkinan dari produsen
untuk melakukan kegiatan ekspor barang dan produk dagangan dengan tujuan
pasar-pasar di negara lain atau sebaliknya melakukan kegiatan impor atas bahan
mentah dan bahan penolong serta mesin atau barang jadi dari luar negara.
Dalam model terbuka ini jasa perbankan dan lembaga keuangan dapat juga berasal
dari luar negeri dan kita dihadapkan pada sistem perekonomian yang semakin
menyatu (the borderless economy) yang disebut dengan the global economy. 6Dengan
memasukkan sektor luar negeri ke dalam model penghitungan pendapatan nasional,
berarti kita menamijahkan dua variabel dalam model perekonomian tiga sektor,
yaitu variabel ekspor (X) dan variabel impor (M).
Dengan demikian untuk menghitung
pendapatan nasional keseimbangan pada perekonomian terbuka dilakukan dengan
jalan menyamakan antara sisi pendapatan dan sisi pengeluaran.Dalam sistem
perekonomian terbuka ini, pengeluaran untuk impor dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu apakah impor itu tergantung dari variabel lain, atau tidak (nilainya
dianggap tetap).Untuk impor yang nilainya tetap dapat dituliskan sebagai
berikut :M = M0; di mana M0 adalah besarnya impor,
Sedangkan impor yang nilainya tergantung dari besar kecilnya pendapatan
dirumuskan sebagai berikut: M= M0 + mY, di mana Y adalah pendapatn
dan m adalah Marginal Propensity to ImportMenurut Tedi Heriayanto 8,
tolok ukur yang baik untuk menilai kadar keterbukaan suatu perekonomian adalah
rasio ekspor dan impor terhadap total GNP. Jika rasio ekspor-impor terhadap GNP
melebihi 50% maka dikatakan perekonomian lebih terbuka. Perdagangan
internasional dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :
- Keanekaragaman kondisi produksi. Perdagangan diperlukan karena adanya keanekaragaman kondisi produksi di setiap negara. Misalnya, negara A karena beriklim tropis dapat berspesialisasi memproduksi pisang, kopi; untuk dipertukarkan dengan barang dan jasa dari negara lain.
- Penghematan biaya. Alasan kedua adalah timbulnya increasing returns to scale (penurunan biaya pada skala produksi yang besar). Banyak proses produksi menikmati skala ekonomis, artinya proses produksi tersebut cenderung memiliki biaya produksi rata-rata yang lebih rendah ketika volume produksi ditingkatkan. Cara apa yang lebih baik untuk meningkatkan produksi selain menjualnya ke pasar global ?
- Perbedaan selera. Sekalipun kondisi produksi di semua daerah serupa, setiap negara mungkin akan melakukan perdagangan jika selera mereka berbeda. Contohnya, negara A dan B menghasilkan daging sapi dan daging ayam dalam jumlah yang hampir sama, tetapi karena masyarakat negara A tidak menyukai daging sapi, sedang negara B tidak menyukai daging ayam, dengan demikian ekspor yang saling menguntungkan dapat terjadi di antara kedua negara tersebut, yaitu bila negara A mengimpor daging ayam dan mengekspor daging sapi, sebaliknya negara B mengimpor daging sapi dan mengekspor daging ayam.
- Prinsip keunggulan komparatif (comparative advantage). Prinsip ini mengatakan bahwa setiap negara akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekpor barang dan jasa yang biayanya relatif lebih rendah (artinya lebih efisien dibanding negara lain); sebaliknya setiap negara akan mengimpor barang dan jasa yang biaya produksinya relatif lebih tinggi (artinya kurang efisien dibanding negara lain).
Dengan adanya perekonomian terbuka dan
setiap negara berkonsentrasi pada bidang yang memiliki keunggulan komparatif,
maka kehidupan semua orang akan menjadi lebih baik. Pekerja di setiap negara
dapat memperoleh konsumsi dalam jumlah yang meningkat untuk jumlah jam kerja
yang sama.
Neraca Pembayaran Internasional
Berbagai permasalahan ekonomi dewasa
ini sebagian besar sangat terkait dengan permasalahan defisit neraca pembayaran
dan utang atau kredit luar negerinya.
Neraca pembayaran internasional
(international balance of payment) suatu negara merupakan laporan keuangan
negara yang bersangkutan atas semua transaksi ekonomi dengan negara-negara lain
yang disusun secara sistematis; neraca ini menghitung dan mencatat semua arus
barang, jasa, dan modal antara suatu negara dengan negara lain.
Neraca pembayaran luar negeri suatu
negara pada umumnya dibagi ke dalam empat bagian, yaitu:
- Transaksi berjalan (current account). Termasuk ke dalamnya barang dagangan (neraca perdagangan), pos-pos tak berwujud (jasa, dan pendapatan dari investasi netto), dan ekpor atau impor serta bantuan pemerintah.
- Neraca modal (capital account). Termasuk ke dalamnya pembelanjaan swasta dan pemerintah dan penjualan aset seperti saham, obligasi, dan real estate).
- Penyimpangan statistik.
- Penyelesaian resmi (official settlements).
Total item yang termasuk bagian 1
biasanya disebut saldo transaksi berjalan. Hal ini memuat selisih antara total
ekspor dengan total impor barang dan jasa. Bila total ekspor melebihi total
impor barang dan jasa maka akan terjadi surplus transaksi berjalan, sebaliknya
akan terjadi defisit transaksi berjalan.
Sejarah menunjukkan bahwa setiap negara
cenderung untuk memiliki beberapa tahapan dalam neraca pembayaran mereka, mulai
dari negara debitur muda hingga negara kreditur madya.
Negara debitur muda
Dalam tahapan ini suatu negara lebih
banyak mengimpor daripada mengekspor, selisih di antara keduanya ditutup
melalui pinjaman luar negeri, sehingga memungkinkan negara tersebut menumpuk
modal.
Negara debitur madya
Dalam tahapan ini neraca perdagangan
suatu negara telah surplus, akan tetapi pertumbuhan dividen dan bunga yang
harus dibayarkan untuk pinjaman luar negeri, menjadikan saldo neraca modalnya
kurang seimbang.
Negara kreditur muda
Dalam masa ini suatu negara
mengembangkan ekspornya secara luar biasa. Negara meminjamkan uang kepada
negara-negara lain.
Negara kreditur madya
Pada tahapan ini, pendapatan modal dan
investasi luar negeri memberikan surplus cukup besar terhadap pos tak tampak,
yang kemudian diseimbangkan dengan defisit neraca perdagangan.
Nilai ekspor dan impor yang terlihat
dalam saldo transaksi berjalan, dipengaruhi oleh kurs mata uang yang digunakan.
Selain itu kekuatan nilai tukar (kurs) akan mempengaruhi nilai ekspor
atau impor dari suatu negara terhadap negara lainnya.
Materi Kuliah
Pengantar Teori Ekonomi Makro
Dosen Pengampu : Bayu Pramutoko,SE,MM
I. Pendahuluan
Secara umum, ilmu ekonomi berguna
karena ia memberikan petunjuk-petunjuk mengenai kebijaksanaan apa yang bisa
diambil untuk menanggulangi suatu permasalahan ekonomi tertentu. Ekonomi makro,
sebagai satu cabang dan ilmu ekonomi, berkaitan dengan permasalahan
kebijaksanaan tertentu, yaitu permasalahan kebijaksanaan makro.
Tugas pengendalian makro adalah juga
mengusahakan agar perekonomian bisa bekerja dan tumbuh secara seimbang,
terhindar dan keadaan-keadaan yang bisa mengganggu keseimbangan umum tadi.
Pengelolaan yang lebih khusus atas masing-masing sektor perekonomian bukan
bagian dan tugas pengendalian makro, meskipun menjaga keseimbangan antara
masing-masing sektor termasuk di dalam tugas tersebut.
II. Permasalahan Ekonomi Makro
Secara garis besar, permasalahan
kebijaksanaan makro mencakup dua permasalahan pokok:
a. Masalah jangka pendek atau masalah
stabilisasi. Masalah ini berkaitan dengan bagaimana “menyetir” perekonomian
nasional dan bulan ke bulan, dan triwulan ke triwulan atau dan tahun ke tahun,
agar terhindar dan tiga “penyakit makro” utama yaitu:
1) inflasi,
2) pengangguran dan
3) ketimpangan dalam neraca pembayaran.
b. Masalah jangka panjang atau masalah
pertumbuhan. Masalah ini adalah mengenai bagaimana kita “menyetir” perekonomian
kita agar ada keserasian antara pertumbuhan penduduk, pertambahan kapasitas
produksi, dan tersedianya dana untuk investasi. Pada asasnya masalahnya juga
berkisar pada bagaimana menghindari ketiga penyakit makro di atas, hanya
perpektif waktunya adalah lebih panjang (lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan
dua puluh lima tahun).
Dalam analisa jangka pendek
faktor-faktor berikut ini kita anggap tidak berubah atau tidak bisa kita ubah:
(a) Kapasitas total dan perekonomian
kita. Kegiatan investasi dalam jangka pendek, masih mungkin dilakukan, tetapi
ha nya dalam arti khusus, yaitu sebagai pengeluaran investasi berupa penambahan
stok barang jadi, setengah jadi atau pun barang mentah di dalam gudang para
pengusaha, dan pengeluaran oleh perusahaan-perusahaan untuk pembelian
barang-barang modal (mesin-mesin, konstruksi gedung-gedung dan sebagainya).
Tetapi yang perlu diingat, “jangka pendek” yang kita maksud di sini adalah
begitu pendek sehingga pengeluaran (pembelian) barang-barang modal tersebut
beleum bias menambah kapasitas produksi dalam periodesasi tersebut. (Yaitu mesin-mesin
sudah dibeli tapi belum dipasang).
(b) Jumlah penduduk dan jurnlah
angkatan kerja. Dalam suatu triwulan misalnya, jumlah-jumlah mi praktis bisa
dianggap tidak berubah.
(c) Lembaga-lembaga sosial, politik,
dan ekonomi yang ada.
Selanjutnya dari segi teori, apabila
kita ingin “menyetir” perekonomia kita dalam jangka pendek, kita harus
melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat jangka pendek pula,
misalnya dengan jalan :
- menambah jumlah uang yang beredar,
- menurunkan bunga kredit bank,
- mengenakan pajak import,
- menurunkan pajak pendapatan atau pajak penjualan,
- menambah pengeluaran pemerintah,
- mengeluarkan obligasi negara dan sebagainya.
Kebijaksanaan-kebinksanaan semacam ini
mempunyai ciri umum bahwa kesemuanya bisa dilakukan tanpa harus mengubah ketiga
factor tersebut di atas.
Jadi seandainya kita menginginkan
kenaikan produksi dalam jangka pndek, kita bisa melakukannya dengan, misalnya:
- memperlancar distribusi bahan-bahan mentah kepada para produsen,
- mendorong pcngusaha untuk mempergunakan pabrik-pabriknya secara lebih intensif (menambah giliran kerja/shift),
- memberikan kerja lembur kepada para karyawan dan sebagainya.
Kehijaksanaan-kebijaksanaan semacam mi
bisa menaikkan arus produksi barang/jasa tanpa mengubah ketiga faktor di atas.
Kesemuanya ini adalah kebijakilnaan-kebijaksanaan jangka pendek. Dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam inilah yang sering diandalkan untuk tujuan
stabilisasi.
Meskipun demikian perlu kita catat di
sini bahwa dalam praktek yang berkaitan antara masalah jangka pendek dan
masalah jangka panjang, adalah sangat erat, terutama bagi negara-negara sedang
berkembang. Dengan lain kata, kita seringkali tidak bisa mengkotakkan secara
jelas mana yang jangka pendek dan mana yang jangka panjang.
Di banyak negara-negara sedang
berkembang, kita tidak bisa melakukan kebijaksanaan stabilisasi yang terlepas
dan kebijaksaanaan pembangunan ekonomi (jangka panjang). Seringkali
kebijaksanaa-kebijaksanaan jangka pendek yang kita sebutkan di atas, meskipun
kita Iaksanakan secara setepat-tepatnyapun, tidak bisa menghilangkan secara
tuntas penyakit makro, seperti inflasi dan pengangguran yang diderita oleh
masyarakat dalam jangka pendek. Sebabnya adalah bahwa di negara-negara tersebut
seringkali penyakit iniflasi dan pengangguran tersebut berakar pada sebab-sebab
“sturuktural,” yaitu pada faktor-faktor yang hanya bisa berubah atau diubah
dalam jangka panjang dan biasanya melalui pembangunan ekonomi dan social.
III. Kerangka Analisa makro
Setelah kita mengetahui duduk persoalan
mengenai masalah -masalah pokok apa yang dikaji dalam ekonomi makro, maka
pertanyaan selanjutnya adalah mengetahui bagaimana mengaji masalah- masalah
tersebut sehingga bisa diperoleh jawaban yang diinginkan.
Terdapat dua aspek utama dan kerangka
analisa ini. Yang pertarna adalah aspek mengenai “apa” yang disebut kegiatan
ekonomi makro dan “di mana” kegiatan tersebut dilakukan. Yang kedua adalah
aspek mengenai “siapa” pelaku-pelakunya.
a. Empat pasar Makro
Dalam analisa ekonomi makro kita
melihat kegiatan ekonomi nasional secara lebih menyeluruh dibanding dengan apa
yang kita pelajari dalam ekonomi Mikro. Kita tidak lagi melihat pasar beras,
pasan blue jeans, pasar rokok kretek, pasar Honda secana sendiri-sendiri. mi
sesuai dengan pengertian mengenai “pengendalian umum” di alas. Di sini kita
melihat pasar-pasar tersebut dan pasar-pasar barang/jasa lainnya sebagai satu
pasar besar, yang kita ben nama “pasar barang”. Tetapi dalam ekonomi makro kita
tidak hanya mempelajani satu pasar ini saja. Perekonomian nasional kita lihat
sebagai suatu sistem yang terdiri dan empat pasar besar yang saling berhubungan
satu sama lain, yaitu:
(a) Pasar Barang
(b) Pasar Uang
(c) Pasar Tenaga Kerja
(d) Pasar Luar Negeri
Di pasar luar negeri permintaan akan
barang ekspor kita he. sama dengan penawaran akan barang tersebut menentukan
harga rata-rata ekspor kita dan kuantitas atau volume ekspor, Harga –
harga dikalikan volume ekspor memberikan penerimaan devisa ekspor. Di pasar
yang sama permintaan masyarakat kita akan barang-barang impor dan menentukan
harga rata-rata impor dan ‘ volume impor. Juga di sini, harga rata-rata
dikalikan volume import memberikan pengeluaran devisa kita untuk impor
barang-barang/jasa tersebut. Untuk pasar luar negeri, seringkali menggabungkan
pasar eksport dan pasar impor dan mengamai apa yang terjadi dengan:
(a)
Neraca Perdagangan, yaitu penerimaan devisa ekspor dikurangi pengeluaran devisa
untuk import atau Neraca Pembayaran apabila kila ingin pula mengetahui tentang
aliran keluar-masuknya modal
(b)
Dasar Penukaran Luar Negeri(terms of trade), yaitu harga rata-rata ekspor kita
dibagi dengan harga rata-rata impor kita.
(c)
Cadangan Devisa, yaitu persediaan devisa yang kita pun pada awal tahun plus
saldo neraca pembayaran.
Dalam teori ekonomi makro mempelajari
faktor-faktor apa yang mempengaruhi P dan Q di masing-masing pasar. Karena P
dan Q tersebut adalah hasil pertemuan (atau perpotongan) antara kurva
permintaan dan kurva penawaran, maka ini berarti bahwa teori ekonomi makro pada
pokoknya mempelajari faktor-faktor apa yang mempengaruhi posisi kurva
permintaan dan penawaran di masingmasing pasar.
Selanjutnya dengan diketahuinya
faktor-faktor ini dan pengaruhnya terhadap posisi kurva permintaan dan
penawaran, maka kita selanjutnya bisa menanyakan faktor-faktor mana di antara
semua factor-faktor tersebut yang bisa dipengaruhi oleh pemerintah melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonominya. Dengan demikian kita bisa mengetahui
kebijaksanaan-kebijaksanaan mana yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi P dan Q di masing-masing pasar. Inilah tujuan akhir dan
mempelajari teori makro, yaitu untuk digunakan sebagai petunjuk bagi pemilihan
atau perumusan kebijaksanaan.
b.Lima Pelaku Makro
Dalam teori makro kita menggolongkan
orang-orarig atau lembaga-lembaga yang melakukan kegiatan ekonomi menjadi limo
kelompok besar, yaitu:
(a) Rumah Tangga,
(b) Produsen,
(c) Pemerintah,
(d) Lembaga-lembaga Keuangan,
(e) Negara-negara Lain.
Kegiatan dan kelima kelompok pelaku ini
serta kaitannya dengan keempat pasar di atas dimana :
> Permintaan :
1. Pengeluaran konsumsi oleh Rumah
Tangga
2. Belanja barang oleh Pemerintah
3. Investasi oleh Perusahaan
4. Ekspor ke luar negeri
5. Kebutuhan tenaga kerja oleh
Pemerintah
6. Kebutuhan tenaga kerja oleh
Perusahaan
7. Kebutuhan uang tunai dan kredit
8. Kebutuhan Rumah Tangga akan uang
tunai
9. Kebutuhan Perusahaan-perusahaan
Asing akan rupiah
> Penawaran
- Hasil produksi dalam negeri
- Impor dan luar negeri
- Tenaga kerja yang disediakan oleh Rumah Tangga
- Suplai uang kartal
- Tabungan Rumah Tangga
- Suplai uang giral
- Suplai dana luar negeri.
* Kelompok Rumah Tangga melakukan
kegiatan-kegiatan pokok seperti:
(a) menerima
penghasilan dan para produsen dan “penjualan” teraga kerja mereka (upah),
deviden, dan dan menyewakan tanah hak milik mereka.
(b) menerima penghasilan
dari lembaga keuangan berupa bunga atas simpanan-simpanan mereka;
(c) membelanjakan
penghasilan tersebut di pasar barang (sebagai konsumen);
(d) menyisihkan sisa dan
penghasilan tersebut untuk ditabung pada lembaga-lembaga keuangan;
(e) membayar pajak
kepada pemerintah;
(f) masuk dalam
pasar uang sebagai “peminta” (demanders) karena kebutuhan mereka akan uang
tunal untuk misalnya transaksi sehari-hari.
**Kelompok Produsen melakukan
kegiatan-kegiatan pokok berupa:
(a) memproduksikan
dan menjual barang-barang/jasa-jasa (yaitu sebagai supplier di pasar barang);
(b) Menyewa/menggunakan
faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga untuk proses
produksi;
(c) menentukan
pembelian barang-barang modal dan stok barang-barang lain (selaku investor
masuk dalam pasar barang sebagai peminta atau demander);
(d) meminta kredit dan lembaga
keuangan untuk membiayai investasi mereka (sebagai demander di pasar uang);
(e) membayar pajak.
***Kelompok Lembaga Keuangan mencakup
semua bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya kecuali bank sentral (Bank
Indonesia), Kegiatan mereka berupa:
(a) menerima
simpanan/deposito dan rumah tangga;
(b) menyediakan kredit dan
uang giral (sebagai supplier dalam pasar uang).
(c) Pemerintah
(termasuk di dalamnya bank sentral) melakukan kegiatan berupa:
- menarik pajak langsung
dan tak langsung;
- membelanjakan penerimaan
negara untuk membeli barang-barang kebutuhan pernerintah (sebagai demander di
pasar barang),
- meminjam uang dan luar
negeri;
- menyewa tenaga kerja
(sebagai demander di pasar tenaga kerja);
- menyediakan kebutuhan
uang (kartal) bagi masyarakat (sebagai supplier di pasar uang).
Negara-negara lain:
(a) menyediakan
kebutuhan barang impor (sebagai supplier di pasar barang);
(b) membeli hasil-hasil
ekspor kita (sebagai demander di pasar barang);
(c) menyediakan kredit
untuk pemerintah dan swasta dalam negeri;
(d) membeli dan pasar
barang untuk kebutuhan cabrng perusahaannya di Indonesia (sebagai investor);
(e) masuk ke dalam
pasar uang dalam negeri sebagai penyalur uang (devisa) dan luar negeri (sebagai
supplier dana) dan sebagai peminta kredit dan uang kartal rupiah untuk
kebutuhan cabang-cabang perusahaan mereka di Indonesia (demander akan dana).
(Singkatnya, sebagai penghubung pasar uang dalam negeri dengan pasar uang luar
negeri).
IV Teori-teori Makro
DASAR FILSAFAT TEORI KEYNES
Menghadapi masalah depresi dan
pengangguran yang begitu hebat, kaum sosialis di negara-negara Barat mengatakan
bahwa kesalahannya terletak pada sistem perekonomian itu sendiri, yaitu sistem
laissez faire atau liberalisme atau kapitalisme. Selama kita masih
mempercayakan pengelolaan perekonomian kita pada para rodusen swasta yang
perdefinisi hanya bertujuan mengejar keuntungan mereka pribadi, maka depresi,
pengangguran, dan juga inflasi akan tetap menjadi penyakit perekonomian yang menghantui
Kita dan waktu ke waktu. Penyakit-penyakit ini adalah konsekuensi logis dan
sistem kapitalisme. Mereka (kaum sosialis) mengusulkan perombakan sistem
perekonornian menjadi sistem sosialis, yaitu sistem di mana faktor-produksi
tidak lagi bisa dirniliki oleh pengusaha swasta, tetapi hanya bisa dimiliki
oleh negara (masyarakat). Semua kegiatan produksi dikuasai negara, yang dalam
teori paling tidak, mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan
pribadi/golongan. Motif mengejar keuntungan bukan lagi sebagai motif utama
untuk menggerakkan produksi (seperti dalam sistem kapitalis).
“Obat” semacam ini ternyata dianggap
terlalu drastis, dan orang-orang di negara-negara Barat yang sudah begitu lama
terbiasa dengan kebebasan berusaha tidak banyak yang bisa menerimanya. Mengubah
sistem semacam itu berarti mengubah cara hidup dan ke biasaan hidup yang sudah
mendarah daging pada mereka. Tentunya ada “obat” yang tidak terlalu pahit yang
bisa menolong sistem perekonomian mereka. Keynes ada pada posisi yang unik
dalam se jarah pemikiran ekonomi Barat, karena pada saat-saat krisis ideologi
semacam itu ia bisa menawarkan suatu pemecahan yang merupakan “jalan tengah”.
Keynes mengatakan bahwa untuk menolong
sistem perekonomian negara-negara tersebut, orang harus bersedia meninggalkan
ideologi laissez faire yang murni yang terkandung dalam pemikiran Klasik. Tidak
bisa tidak, demikian Keynes, Pemerintah harus melakukan lebih banyak campur
tangan yang aktif dalam mengendalikan perekonomian nasional. Pendapat bahwa peranan
Pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus seminimal mungkin sehingga tidak
merongrong hak asasi manusia, kebebasan berusaha dan mengabdikan pada
bekerjanya “natural laws”, haruslah ditinggalkan atau pling tidak diubah.
Keynes berpendapat bahwa kegiatan produk dan pemilikan faktor-faktor produksi,
masih tetap bisa dipercayakan kepada pengusaha swasta, tetapi sekarang
pemerintah wajib melakukan kebijaksanaan yang aktif untuk mempengaruhi gerak
perekonomian.
Dalam masa depresi misalnya, Pemerintah
harus bersedia (atau diperbolehkan) untuk melaksanakan program-program dan
kegiatan-kegiatan yang langsung bisa menyerap tenaga kerja yang tidak dapat
memperoleh pekerjaan di sektor swasta, meskipun hal itu hanya bisa dilaksanakan
dengan mengakibatkan defisit di anggaran belanja negara. (Perlu ditekankan di
sini bahwa pada waktu itu sistem anggaran beda yang seimbang adalah
satu-satunya sistem yang dianggap terbaik bidang pengelolaan keuangan negara).
Sebaliknya, bila terjadi inflasi yang disebabkan karena permintaan masyarakat
akan barang barang/jasa melebihi apa yang bisa diproduksikan dengain kapasita
yang ada, Pemerintahpun harus bersedia mengurangi pengeluarannya sehingga
terjadi surplus dalam anggaran belanjanya. Surplus anggaran ini bisa merupakan
rem bagi permintaan masyarakat yang berlebihan tadi. Yang perlu digarisbawahi
di sini adalah bahwa Pemerintah harus bersedia melakukan kebijaksanaan secara
aktif dan sadar. Keynes tidak percaya akan kekuatan hakiki dari sistem laissez
faire untuk mengkoreksi diri sendiri, yaitu untuk kembali kepada posisi “full
employment” secara otomatis. Full enployment merupakan sesuatu yang hanya bisa
dicapai dengan tindakan-tindakan terencana, dan bukan sesuatu yang akan datang
dengan sendirinya. Inilah inti dan ideologi Keynesian isme.
PASAR BARANG
Kemungkinan Kelebihan Produksi. Keynes
menolak Hukum Say. Menurut Keynes kelebihan produksi secara umum bisa terjadi.
elebihan permintaan ini terjadi bila permintaan masyarakat akan
barang-barang/jasa tidak cukup kuat. Demand yang ada tidak cukup untuk menyerap
supply yang ditawarkan. Bagaimana ini bisa terjadi? Pada asasnya Keynes masih
menerima pendapat Say bahwa setiap proses produksi mempunyai akibat ganda,
yaitu menghasilkan output dan menghasilkan pen ghasilan kepada masyarakat sebesar
nilai output tersebut.
Dengan demikian pada suatu waktu
tertentu daya beli memang tersedia dalam jumlah yang cukup di masyarakat untuk
“membeli” barang/jasa yang diproduksikan. Tetapi daya beli yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut tidak selalu harus sama dengan daya beli yang betul-betul
dibelanjakan oleh masvarakat di pasar barang. Dengan kata lain, sebagian dan
daya beli tersebut mungkin betul-betul diterjemahkan menjadi permintaan efektif
di pasar barang. Tetapi sebagian lain dan daya beli tersebut mungkin akan
ditabung oleh masyarakat. Menabung tidak menambah permintaan efektif di pasar
barang. Jadi tidak seluruh penghasilan (daya beli) yang diperoleh masyarakat
secara langsung diter jemahkan menjadi permintaan efektif. Di sinilah Keynes
berbeda dengan Say. Say mengatakan bahwa seluruh penghasilan tersebut akhirnya
akan diterjemahkan menjadi permintaan efektif, dus tidak akan ada kekurangan
permintaan efektif, dan tidak mungkin ada kelebihan produksi secara menyeluruh.
Untuk menerangkan pendapat Keynes
secara lebih jelas kita anggap hanya ada dua sektor: sektor rumah-tangga dan
sektor pro dusen. Keynes mengatakan bahwa sebagian dari penghasilan yang tidak
dibelanjakan oleh sektor rumah-tangga (yaitu yang ditabung pada lembaga-lembaga
keuangan) tidak menimbulkan permintaan efektif. Hanya apabila daya beli yang
ditabung tersebut dipinjamkan oleh lembaga keuangan kepada sektor produsen
untuk membiayai “investasi” mereka, maka daya beli tersebut berubah menjadi
permintaan efektif di pasar barang. (Kita ingat bahwa “investasi” di artikan
sebagai pembelian barang-barang oleh para produsen untuk keperluan penambahan
stok di gudang mereka dan untuk keperluan perluasan kapasitas produksi mereka,
yaitu pembelian mesin-mesin, pembangunan gedung-gedung dan sebagainya). Jadi
jelas bahwa pada suatu waktu tidak ada jaminan bahwa seluruh daya beli yang
ditabung tersebut akan diterjemahkan menjadi permintaan efektif d pasar barang.
Semuanya mi tergantung kepada apakah para pr dusen mau mempergunakan daya beli
yang ditabung pada Iembag lembaga keuangan tersebut untuk pembelian
barang-barang (inve tasi). Kalau misalnya para produsen hanya mau mempergunakai
separoh dan tabungan tersebut, maka ini berarti bahwa permintaa,’ efekt di
pasar barang berjumlah kurang dan nilai dan seluruh out put yang ditawarkan di
pasar tersebut, Dengan lain kata, tida semua barang yang diproduksjkan akan
terbeli (jadi ada ke1ebiha produksi umum).
Apa yang terjadi kemudian bila tidak
semua barang yang diproduksikan dalam suatu periode (misalnya, triwulan) bisa
terbeli? ada dua akibat yang bisa terjadi.
-
Pertama, para produsen akan nengu rangi produksi mereka untuk periode
berikutnya. Jadi, GDP dalani triwulan berikutnya turun.
-
Kedua, dan ini bisa terjadi bersamaan dengan akibat pertama tersebut,
harga-harga barang turun. Sesuat dengan hukum penawaran dan permintaan biasa,
bila permintaan lebih kecil dan penawaran, maka harga cenderung untuk turun.
Sampai berapa jauh kekurangan
perrnintaan efektif akan meng akibatkan turunnya GDP (dalam periode berikutnya)
dan sampai berapa jauh akan menurunkan harga, sangat tergantung khususnya pada
apakah harga-harga barang cukup fleksibel ke bawah (yaitu bisa turun). Dalam
kenyataan memang ada barang yang harganya sulit untuk turun, meskipun ada
kelebihan produksi. ( yang harga jualnya ditentukan atas dasar biaya pro duksi
biasanya tidak mau turun, meskipun terjadi kelebihan pro duksi barang-barang
tersebut). Kalau demikian halnya, maka kekurangan permintaan efektif tersebut
akan lebih banyak mengakibatkan penurunan produksi (GDP) dalam periode beri
kutnya.
Apabila seandainya harga-harga cukup
fleksibel ke bawah. maka harga-harga akan turun cukup jauh, sehingga permintaan
akan barang-barang tersebut mulai naik kembali. (Ingat hukum permintaan biasa,
yang mengatakan bahwa kalau harga sesuatu barang turun maka jumlah yang
dirninta naik). Jadi kalau harga cukup flek sibel maka penurunan produksj (GDP)
pada periode berikutny tidak akan sebesar kalau harga-harga tidak mau turun.
Jadi, lebih s dikit orang-orang yang dipecat dan pekerjaan mereka (yaitu, Ieh
sedikit akibat penganggurannya) Perlu ditekankan lagi di sini bahw rnekanisme
atau proses penyesuaian dengan harga yang fleksibel inilah yang terlalu
diandalkan oleh kaum Kiasik, sehingga mereka percaya bahwa kalau saja
harga-harga fleksibel maka depresi, atau penurunan GDP (dan selanjutnya
pengangguran) akan terkoreksi secara otomatis.
Kemungkinan Kekurangan Produksi.
Keadaan sebaliknya, yaitu kekurangan produksi secara umum juga mungkin terjadi.
Kalau para produsen ternyata memutuskan untuk melakukan investasi dalam jumlah
yang lebih besar daripada daya beli yang ditabung oleh ma syarakat, maka
permintaan efektif (oleh sektor rumah tangga dan sektor produsen) di pasar
barang menjadi lena/u besar dibanding dengan nilai output yang tersedia di
pasar. Yang perlu diingat di sini adalah bahwa besar kecilnya permintaan
efektif (total) sangat tergan tung pada keputusan para konsumen (rumah tan gga)
men genai besar pen geluaran konsumsinya dan keputusan para produsen men genai
besarnya in vest asi yang mereka in gin Iaksanakan dalam periode tersebut
Mengenai keputusan pengeluaran konsumsi
rumah-tangga, Keynes berpendapat bahwa keputusan tersebut cukup stabil dan
biasanya hanya berubah apabila tingkat pendapatan rumah-tangga berubah. Menurut
ia (dan ini memang didukung oleh kenyataan), yang sulit diterka adalah perilaku
produsen dalam pengeluaran investasinya. Oleh sebab itu, dalam praktek, gejolak
pengeluaran investasi inilah yang sangat menentukan gejolak GDP (dan kesempatan
kerja).
Seandainya pengeluaran investasi yang
diinginkan para produsen (investor) ternyata lebih besar daripada dana yang
ditabung oleh sektor rumah-tangga, maka mi berarti bahwa permintaan efektif
lebih besar daripada nilai output yang tersedia. Dalam kasus kele bihan
permintaan efektif ini, berapa besar kelebihan permintaan efektif dalam periode
sekarang akan mengakibatkan kenaikan GDP dan berapa besar akan mengakibatkan
kenaikan harga, tergantung pada tersedianya kapasitas produksi yang belum
terpakai dalam masyarakat. Bila masih cukup banyak kapasitas produksi (pabrik
pabrik) yang belum bekerja secara penuh, maka kelebihan permintaan efektif
tersebut akan mengakibatkan kenaikan produksi (GDP) pada periode berikutnya
tanpa menaikkan harga-harga (atau harga harga mungkin naik sedikit sekali).
Tetapi apabila ternyata bahwa pabrik-pabrik sudah bekerja secara penuh, maka
kelebihan permin taan efektif tersebut tidak bisa diimbangi dengan kenaikan
produksi (GDP), sehingga kelebihan permintaan tersebut akan diterjemahkan
seluruhnya menjadi kenaikan harga-harga atau inflasi.Berikut ini kita akan
melihat secara garis besar kerangka analisis dan teori makro dan Keynes.
Pasar Uang
Teori makro Klasik mempunyai dasar
filsafat bahwa perekonomian yang didasarkan pada sistem bebas-berusaha (laissez
faire) adalah self-regulating, artinya mempunyai kemampuan untuk kembali ke
posisi keseimbangannya secara otomatis. OIeh sebab itu pemerintah tidak perlu
campurtangan.
Di pasar barang sifat self-regulating
ini dicerminkan oleh adanya proses yang otomatis membawa kembali ke posisi GDP
yang menjamin full-employment, apabila karena sesuatu hal perekonomian tidak
pada posisi ini. Landasan dan keyakinan ini adalah
(a)
berlakunya Hukum Say yang menyatakan bahwa: “Supply creates its own demand,”
dan
(b)
anggapan bahwa semua harga fleksibel.
- Di pasar tenaga kerja, dalam jangka pendek hanya ada pengangguran sukarela. Tetapi pengangguran inipun hanya bersifat sementara, karena apabila harga-harga turun (termasuk tingkat upah), maka konsumsi dan produksi akan kembali lagi ke tingkat semula (yaitu tingkat full employment).
- Di pasar uang, kaum Klasik mempunyai Teori Kuantitas, yang menyatakan bahwa permintaan akan uang adalah proporsional dengan nilai transaksi yang dilakukan masyarakat. Di pasar mi ditentukan tingkat harga umum; apabila jumlah uang yang beredar (penawaran akan uang) naik maka tingkat harga pun naik.
Dalam sistem standar kertas, tidak ada
proses otomatis yang menstabilkan tingkat harga. Di sini kaum Kiasik melihat
satu-satunya peranan makro pemerintah, yaitu mengendalikan jumlah uang yang
beredar sesuai dengan kebutuhan transaksi masyarakat.
Di dalam sistem standar emas, ada
mekanisme otomatis yang menjamin kestabilan harga. Di sini peranan pemeriniah
tidak dianggap perlu. Karena jumlah uang (emas) yang beredar otomatis
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Di pasar luar negeri, mekanisme
otomatis menjamin keseimbangan neraca perdagangan melalui:
(a) mekanisme Hume, dalam sistem
standar emas, atau
(b) mekanisme kurs devisa mengambang,
dalam sistem standar kertas.
Sementara itu Campur tangan pernerintah
tidak diperlukan. Penjelasan tentang pasar uang dapt dijelaskan sebagai berikut
:
- Pasar uang adalah pertemuan antara permintaan akan uang dengan penawaran akan uang. Permintaan akan uang adalali kebutuhan masyarakat akan uang tunai untuk menunjang k giatan ekonominya. Sedangkan penawaran akan uang adalah jumlah uang yang disediakan oleh pemerintah dan bank-banl yaitu seiuruh uang kartal dan uang giral yang beredar.
- Menurut Keynes, permintaan akan uang bersumber pada 3 macam kebutuhan akan uang: (a) kebutuhan transaksi, (b) kebutuhan berjaga-jaga dan (c) kebutuhan spekulasi. Ketiga macan kebutuhan ini disebut 3 alasan mengapa orang memerlukan uang.
- Permintaan akan uang untuk transaksi ditentukan oleh(a) vol me output yang ditransaksikan (yaitu GDP nil) dan (b) tingkai harga umum. Dalam hal mi Keynes tidak berbeda dengan kaum Klasik, Pasar uang untuk berjaga-jaga relatif kecil.
- Permintaan untuk spekulasi (yang membedakan teori Key dengan teori Kuantitas) adalah permintaan akan uang tunai un tuk tujuan memperoleh keuntungan. Caranya adalah dengan “berspekulasi” dalam pasar obligasi (surat berharga). Apabila harga obligasi diharapkan untuk naik di masa mendatang, mak orang akan membeli obligasi dengan uang tunainya han in un berarti uang tunai yang saat mi ia ingin pegang (untuk tujual spekulasi) berkurang. Sebaliknya, apabila harga obligasi diha rapkan turun, maka permintaannya akan uang tunai saat ini bertambah lebih senang menjual obligasi yang ia pegang memperoleh atau memegang uang tunai sekarang.
- Hubungan antara harga obligasi dan tingkat bunga yang berla ku adalah berkebalikan. Harga obligasi naik sama saja artiny dengan tingkat bunga turun. Sebaliknya, harga obligasi turun berarti tingkat bunga naik.
- Bila harga obligasi diharapkan naik, ini berarti bahwa harga obligasi saat ini dianggap terlalu rendah. Bila harga obliga harapkan turun, ini berarti bahwa harga obligasi saat ini dengan harga tertinggi.
Kebijaksanaan Moneter
Kebijakan moneter adalah tindakan
pemerintah (atau bank sentral) untuk mempengaruhi situasi makro yang
dilaksanakan melalui pasar uang. Ini adalah definisi umum dari kebijakan
moneter yang bisa diartikan sebagai tindakan makro pemerintah dengan cara
mempengaruhi proses penciptaan uang.Dengan mempengaruhi proses penciptaan uang,
pemerintah bisa mempengaruhi :
- jumlah uang beredar.
- tingkat bunga yang berlaku dipasar uang. Melalui tingkat bunga pemerintah bisa mempengaruhi :
- pengeluaran investasi
- tingkat harga (P) dan GDP
Di sini kita menyoroti mata rantai yang
pertama, yaitu antara kebijaksanaan moneter dengan M Khususnya kita menanyakan
tindakan-tindakan apakah yang bisa dilakukan Pemerintah (bank sentral) untuk
mempengaruhi M (uang beredar)
Untuk menjawab pertanyaan ini kita
perlu merangkum kesimpulan-kesimpulan pokok mengenai proses penciptaan uang di
atas. Pertama, kita simpulkan bahwa jumlah uang beredar (Ms) ditentukan oleh
dua faktor, yaitu:
(a) besarnya jumlah uang inti (H) yang
tersedia, dan
(b) besarnya koefisien pelipat uang,
Kedua, kita simpulkan bahwa besarnya
uang inti dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
(a) keadaan neraca pembayaran (surplus
atau defisit)
(b) keadaan APBN (surplus atau defisit)
(c) perubahan kredit langsung Bank
Indonesia
(d) perubahan kredit likuiditas Bank
Indonesia.
Secara umum kita mengatakan bahwa
pemerintah bisa mempengaruhi Ms apabila pemerintah bisa mempengaruhi nilai
pelipat uang dan/atau jumlah uang inti.
Apa yang bisa dilakukan pemerintah
untuk mempengaruhi Ms adalah apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk
mempengaruhi variabel-variabel di sebelah kanan persamaan (8) ini. Man kita
lihat satu per satu. Kita sebutkan di atas bahwa u (= K/Ms) tidak ditentukan
oleh pemerintah, tetapi diputuskan oleh masyarakat. Tetapi sebenarnya
pemerintah masih bisa mempengaruhi uang secara tidak langsung. Misalnya apabila
bank-bank pemerintah rneningkatkan bunga yang dibayar kan untuk deposito atau
giro, maka kemugkinan uang menurun (artinya, orang lebih suka memegang uang
giral daripada uang kartal). Dengan demikian money multiplier naik dan M naik.
Dalam hal ini kita mengatakan bahwa tingkat bunga untuk deposito dan giro
adalah instrumen kebijaksanaan moneter yang bisa digunakan pemerintah untuk mempengaruhi
M lewat u.
Bagaimana dengan v (= R/D)? Kita
singgung di atas bahwa selain itu pemerintah bisa mempengaruhi v melalui
penentuan cash-ratio atau reserve requirement. Apabila pemerintah ingin
mengekang M pemerintah bisa meningkatkan cash-ratio. sehingga v meningkat, yang
selanjutnya akan memperkecil nilai koefisien pelipat uang. Sebaliknya,
cash-ratio bisa diturunkan apabila pemerintah menginginkan untuk memperbesar M
Oleh sebab itu cash-ratio kita katakan pula sebagai suatu instrumen
kebijaksanaan moneter.
Sebenarnya pemerintah masih bisa
mempengaruhi v (jumlah Uang Giral) dengan cara lain, yaitu dengan
mempengaruhi excess reserve yang dipegang bank. Bagaimana caranya? Satu cara
utama adalah dengan mengubah tingkat bunga yang dikenakan oleh bank sentral
atas pinjaman yang diberikannya kepada bank-bank. (Ingat bank sentral adalah
“banknya bank” atau bankers’ bank, artinya ia bisa memberikan pinjaman kepada
bank-bank apabila mereka membutuhkan tam bahan likuiditas). Untuk pinjaman
semacam ini bank-bank harus membayar bunga. Tingkat bunga ini dikenal dengan
nama discount rate.
Apabila discount rate dinaikkan maka
bank-bank cenderung untuk menambah excess reservenya, sebab mereka tidak ingin
terlalu mengandalkan dana bank sentral untuk memenuhi kebutuhan likuiditas yang
tak terduga karena cara itu menjadi terlalu mahal. Akibatnya v (jumlah Uang
Giral) meningkat dan pelipat uang menurun. Sebaliknya, apabila
discount rate ( pengurangan rata-rata) rendah, maka bank merasa cukup aman
memegang excess reserve yang kecil, karena sewaktu-waktu mereka memerlukan dana
untuk mengatasi masalah likuiditasnya mereka bisa memperoleh dana bank sentral
dengan biaya murah. Akibatnya v (jumlah Uang Giral) turun, sehingga
pelipat uang meningkat. Jadi discount rate adalah juga instrumen ke bijaksanaan
moneter bagi pemerintah (bank sentral).
Pemerintah bisa pula mempengaruhi Ms
dengan cara mempengaruhi H (uang inti). Dengan cara: pemerintah bisa
mempengaruhi neraca pembayaran Dengan menggalakkan ekspor (misalnya, dengan
memberi ran sangan ekspor berupa penurunan pajak ekspor atau pemberian
sertifikat Ekspor) dan mengurang impor. (misalnya dengan menaikkan bea masuk),
pemerintah bisa menciptakan surplus neraca pembayaran. ini akan menambah uang
inti yang tersedia di masyarakat, Sehingga Ms meningkat. Jadi pajak ekspor,
Sertifikat Ekspor, bea masuk, adalah instrumen kebijaksanaan moneter.
Pemerintah bisa dengan lebih langsung
mempengaruhi APBN . Apabila dikehendaki Ms meningkat, APBN bisa dibuat defisit.
baliknya, apabila M dikehendaki turun, maka APBN harus dibuat surplus. Jadi,
APBN adalah juga instrumen kebijaksanaan moneter. Demikian pula pemerintah bisa
mempengaruhi M (uang bereedar) dengan mengendalikan kredit langsung dan kredit
likuiditas bank sentralnya, misalnya dengan menetapkan batas maksimum yang bisa
diberi n (credit ceiling) atau dengan menaikkan (atau menurunkan) tingkat bunga
kredit bank.
Sebenarnya ada berbagai variasi
instrumen lain yang bisa digunakan pemerintah untuk mempengaruhi Ms lewat baik
money multiplier maupun jumlah uang inti. Apa yang kita sebutkan di atas ada
beberapa instrumen-instrumen pokoknya. Kita tidak bicarakan instrumen-instrumen
lain tersebut di sini, karena lebih cocok untuk bahas dalam Ekonomi Moneter.
KEBIJAKSANAAN FISKAL
Kebijaksanaan fiskal adalah
kebijaksanaan yang kedua dibidang pengendalian makro adalah. Kebijaksanaan
moneter dan kebijaksanaan fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat
utama bagi perencana ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro
perekonomiannya. Keduanya sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga
dalam praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga
mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter dengan
konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini mungkin
lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.
Pembahasan ini diawali mengenai
hubungan antara APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini sejalan dengan
pengertian umum bahwa kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilaksanakan
lewat APBN. Dalam bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dan
suatu “kebijaksanaan fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN
tertentu, ter hadap perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah contoh
untuk menunjukkan bagaimana kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu
kebijaksanaan fiskal dengan menggunakan aijabar sederhana.
APBN DAN KEBIJAKSANAAN FISKAL
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap
perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu:
(a) Bagaimana suatu kebijaksanaan
uiskal diterjemahkan men jadi suatu APBN dan
(b) Bagaimana APBN tersebut
mempengaruhi perekonomian.
Dalam bagian mi kita akan mengaji tahap
(a). Khususnya kita akan membahas makna dan suatu kebijaksanaan fiskal dilihat
dari struktur pos-pos APBN.
APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi
yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaan. Sisi pengeluaran
mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan uang untuk pelaknaannya.
Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka ragam
dan mencerminkan apa yang ingin dilaknakan pemerintah dalam programnya. Untuk
tujuan pembahasan
Dibagian lain terdiri dan pos utama,
yaitu:
- Pengeluaran pernerintah untuk pembelian barang/jasa,
- pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya,
- pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yang ini liputi misalnya, pembayaran subsidi/bantuan Iangsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Semua pos pada sisi pengeluaran
tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi penerimaan menunjukkan
darimana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk
memperoleh dana tersebut, yaitu:
(a) pajak (berbagai macam),
(b) pinjaman dan bank sentral,
(c) pinjaman dan masyarakat dalam
negeri,
(d) pinjaman dan luar negeri.
Dahulu pajak adalah satu-satunya sumber
untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Tidak ada pajak tidak ada kegiatan
pemerintahan. Sekarang, pajak masih merupakan sumber keuangan negara yang
paling penting bagi semua negara di dunia. Namun bagi pemerintah di
negara-negara modern ada bebeapa cara lain untuk memperoleh dana tambahan. Yang
pertama, pemerintah bisa “meminjam” dana dan bank sentralnya, seperti halnva
seseorang mengambil kredit dart bank. Tetapi ada satu perbedaan penting antara
kredit bank sentral kepada pemerintah dengan kredit bank kepada seseorang atau
perusahaan. Perbedaan ini adalah bahwa bank sentral hanya bisa memberikan
kredit dengan jalan menciptakan uang inti (reserve money). Bank sentral tidak
bisa menciptakan uang giral seperti bank-bank umum biasa, sebab “uang giral”
bank sentral.
Dan penambahan uang inti (L berarti
(lewat money multiplier) penambahan jumlah uang beredar (L OIeh sebab itu dalam
ungkapan yang lebih populer, pemberian kredit bank sentral kepada pemerintah
adalah identik dengan pencetakan uang baru. (Yang lebih tepat sebenarnya adalah
penciptaan uang inti baru).
Cara lain untuk memperoleh dana adalah
meminjam dan masyarakat dalam negeni. Caranya adalah dengan mengeluarkan
obligasi dan menjualnya di pasar uang dalam negeri*). Bila masyarakat (termasuk
bank-bank) membeli surat berharga ini maka pemerintah memperoleh dana yang
semula ada di tangan masyarakat (dan sebagai gantinya, masyarakat memegang
obligasi pemerintah). Cara ini disebut open market operations (operasi pasar
terbuka). Biasanya bank sentral bertindak sebagai “agen” pemerintah dalam
melakukan open market operations. Cara ini hanya bisa dilakukan di
negara-negara yang sudah memiliki pasar surat berharga (bursa efek dan saham)
yang sudah maju. Bagi negara-negara sedang berkem bang pasar semacam itu belum
berkembang, sehingga kebijaksanaan open market operations hanya mempunyai
kegunaan yang terbatas. Bagi negara-negara maju, open market operations adalah
suatu cara pembelanjaan keuangan negara yang sangat penting.
Cara yang terakhir untuk memperoleh
dana adalah dengan meminjam dan luar negeri. Yang dilakukan di sini adalah
“mengambangkan” obligasi pemerintah di pasar uang luar negeri (misalnya,
pemerintah Indonesia telah menjual obligasinya di pasar uang Hamburg dan
Tokyo). Dalam hal mi pemerintah Indonesia menerima dana (dalam bentuk matauang
asing atau “devisa”) dan si pembeli di luar negeri menerirna surat tanda
berhutang (“obligasi”) pemenintah Indonesia (beserta janji kapan membayar
kembali dan dengan bunga beberapa). Cara mi lebih cocok apabila pemerintah
membutuhkan dana dalam bentuk devisa (misalnya, untuk membiayai kebutuhan
impornya).
Cara di atas adalah untuk memperoleh
“kredit komersial” dan luar negeri, yaitu pinjaman dengan bunga seperti yang
berlaku di pasar pada saat itu. Bagi beberapa negara, kredit komersial mungkin
mungkin dirasa cukup berat, dilihat dan persyaratan pembayaran bunga maupun
jangka waktu pengembaliannya. Khusus bagi negara sedang berkembang tersedia
kemungkinan untuk memperoleh “kredit lunak”, yaitu pinjaman dengan bunga di
bawah bunga yang berlaku di pasar uang dan dengan jangka waktu yang lebih
longgar.*)
Pemberi kredit ini adalah pemerintah
negara-negara maju yang memang mempunyai program untukmembantu pembangunan
negara negara berkembang, yaitu negara-negara “donor”, dan lembaga lembaga
keuangan internasional yang bertujuan membantu negara negara berkembang
(seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, Dana Moneter Internasional (IMF),
dan sebagainya).
Sebagai contoh, APBN suatu negara bisa
berbentuk seperti berikut: APBN, Negara X, 1981/1982 (dalam Rp milyar), Dari
segi pembukuannya, APBN selalu seimbang: pengeluaran total adalah 2.300 dan
penerimaan total juga 2.300. Perubahan kebijaksanaan fiskal ditunjukkan oleh
adanya perubahan jumlah untuk masing-masing pos. Meskipun jumlah total
(pengeluaran dan penerimaan) sama, kita bisa mempunyai kebijaksanaan fiskal
yang berbeda apabila struktur angka-angka untuk pos-pos APBN berbeda. Dan
memang, kita tidak bisa melihat pengaruh dan suatu APBN hanya dengan melihat
nilai totalnya saja. (sebab nilai ini menurut prinsip akuntansinya harus selalu
seimbang). Kita bisa mengatakan bahwa APBN defisit, surplus atau seimbang dalam
arti ekonomis hanya apabila kita meneliti struktur angka-angkanya.
Ada beberapa pengertian yang berbeda
mengenai apa yang di maksud suatu APBN defisit, surplus atau seimbang.
Masing-masing pengertian mempunyai arti ekonomis (dan implikasi makro) yang berbeda
satu sama lain. Kita harus memilih pengertian yang sesuai dengan tujuan analisa
kita atau dengan problema yang kita soroti. Contoh di atas (dengan kriteria
manapun) menunjukkan situasi APBN defisit. Pengertian yang “paling ketat”
mengatakan bahwa defisit APBN terjadi apabila seluruh pengeluaran pemerintah
tidak bisa dibiayai oleh sumber keuangan negara yang paling utama, yaitu pajak.
Dalam contoh di atas, pengeluaran total adalah 2.300 sedang penerimaan pajak
hanya 1.200, jadi terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 1.100.
Pengertian defisit yang kedua dan yang
“kurang ketat” mengatakan bahwa APBN defisit apabila penerimaan pajak plus
pinjaman pemerintah dan masyarakat dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai
seluruh pengeluaran pemerintah. Dalam contoh di atas, pajak plus pinjaman mi
berjumlah 1.400, sehingga terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 900.
Mengapa pinjaman dan masyarakat dalam
negeni dianggap sebagai sumber dana yang “wajar”? Pertama, karena ini adalah
pinjaman pemerintah terhadap warganya sendiri, sehingga ada perasaan bahwa
pinjaman ini “wajar”. Alasan kedua, yang secara ekonomis lebih penting, adalah
bahwa pinjaman semacam ini tidak menambah jumlah uang beredar di dalam negeri,
karena dana yang diperoleh pemerintah adalah dana yang sebelumnya ada di ta
ngan masyarakat (yaitu, hanya terjadi pengalihan hak penggunaan dana yang
tersedia). Ciri ini mempunyai implikasi penting bagi pengaruh kebijaksanaan
fiskal terhadap perekonomian (seperti yang akan kita bahas nanti).
Pengertian yang paling “lunak” mengenai
defisit APBN menga takan bahwa defisit APBN hanya terjadi apabila pajak +
pinjaman dan masyarakat dalam negeri + pinjaman dan luar negeri tidak mencukupi
untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dengan lain perkataan, defisit
APBN terjadi apabila pemerintah harus meminjam dan bank sentral atau, secara
populer, harus men cetak uang baru untuk membiayai pengeluarannya. Dalam contoh
di atas, defisit menurut pengertian ini adalah 300.
Berbagai pengertian mengenai APBN
surplus dan seimbang juga bisa digolongkan sejalan dengan pengertian mengenai
defisit di atas. Kesimpulan umum mengenai uraian kita sampai saat mi adah bahwa
kita harus berhati-hati dan mempunyai konsepsi jelas mengu nai pengertian mana
yang kita maksud apabila kita mengatakan te jadi defisit atau surplus APBN.
Selain itu jelas pula dan uraian di atas bahwa cara membiayai pengeluaran
pemerintah menentukan sekali akibat APBN terhadap perekonomian. Bermacam-macam
pengeluaran sangat menentukan pula pengaruh APBN terhadap perekonomian Hanya
melihat angka “total”nya saja, kita tidak bisa menilai konsekuensi APBN bagi
perekonomian.
I N F L A S I
Inflasi merupakan salah satu masalah
ekonomi yang banyak mendapatkan perhatian para pemikir ekonomi. Pada asasnya
inflasi merupakan gelaja ekonomi yang berupa naiknya tingkat harga.
Definisi inflasi :
Inflasi adalah kecenderungan dari
harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Kebalikan dari
inflasi disebut deflasi.
Indikator Inflasi :
- Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.
- Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.
Didasarkan kepada sumber penyebabnya,
menurut Soediyono R. : inflasi dapat digolong-golongkan sebagai berikut:
(a) Inflasi permintaan. Istilah untuk
inflasi semacam ini antara lain ialah demand-pull inflation. inflasi tarikan
permintaan dan demand inflation.
(b) inflasi penawaran. lstilah lain
yang hanyak dipakai untuk inflasi sernacam mi ialah cost-push inflation dan
supply inflation.
(c) Inflasi campuran, yaitu inflasi
yang mempunyai baik unsur demand pull maupun cost push. Inflasi semacam ini
sering disebut mixed inflation.
Inflasi Permintaan
Sebagai langkah pertama macam inflasi
yang merupakan pusat perhatian kita ialah inflasi permintaan, yang ini terkenal
dengan sebutan demand full inflation. Seperti tersirat dalam namanya, inflasi
permintaan timbul sebagai akibat dan meningkatnya permintaan agregatif. Ada
beberapa Icon atau model analisis ekonomi yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori inflasi permintaan. Beberapa di antaranya yang uraian singkatnya
disajikan di bawah mi ialah:
(a) pendekatan teori kuantitas uang,
(b) pendekatan celah inflasi,
(c) pendekatan IS-LM, dan
(d) pendekatan permintaan -penawaran
agregatif
1. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan
Teori Kuantitas Uang
Teori kuantitas uang berpendapat bahwa naik-turunnya
tingkat harga disebabkan oleh naik-turunnya jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian. Sebagai akibat dan meningkatnya jumlah saldo kas yang dimiliki
oleh rumah-rumah tangga dikarenakan oleh meningkatnya jumlah uang yang beredar,
angka banding antara jumlah saldo kas dengan besarnya pendapatan dirasakan
menjadi terlalu tinggi. Untuk mengurangi kelebihan saldo kas tersebut, menurut
teori kuantitas uang, rumah tangga akan langsung menggunakannya untuk
memperbesar pengeluaran konsumsi mereka. ini dengan sendirinya mengakibatkan
meningkatnya permintaan agregatif. Dengan mendasarkan kepada asumsi kesempatan
kerja penuh atau full employment, maka meningkatnya permintaan agregatif akan
mengakibatkan naiknya tingkat harga. Dengan kata lain, terjadilah inflasi.
Sebagai akibat dan adanya inflasi nilai
nyata saldo kas akan menurun. Proses inflasi terus terjadi sampai tercapai
keadaan di mana angka banding antara jumlah saldo kas nyata dengan pendapatan
nyata kembali ke ketinggian semula. Inflasi akan terhenti di sini, kecuali
kalau terjadi lagi penambahan jumlah uang yang beredar.
2. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan
Analisa Celah inflasi
Masalah celah inflasi atau inflationary
gap bahwa inflation gap terjadi apabila besarnya investasi yang terjadi
melebihi penabungan atau saving pada tingkat pendapatan fuII-employmen,
pernyataan tersebut tepat kalau diterapkan untuk perekonomian tertutup. dalam
keadaan di mana besarnya permintaan agregati,f yaitu hasil penjumlahan (C + 1 +
G + X — M), melebihi kapasitas produksi nasional, yang biasa disebut juga
full-employment income.
3. Inflasi Permintaan dengan
Pendekatan IS-LM
Menerangkan inflasi dengan menggunakan
pendekatan IS-LM tersebut ialah bahwa masing-masing dimaksudkan untuk
menerangkan dua hal, yaitu:
(a) penentuan tingkat pendapatan
nasional ekuilibrium,
(b) penentuan tingkat harga dengan
tingkat pendapatan nasional ekuilibrium seperti yang uraian atau perhitungannya
disajikan oleh butir .
Oleh karena semua variahel yang
diperhatikan dalam analisis silang Keynes tersebut. mengenai pengukurannya
semuanya sama, yaitu masing-masing diukur dalam rupiah per satuan waktu.
Analisis IS-LM di lain pihak sebagian dan vaniabelnya; yaitu variabel investasi
dan variabel permintaan uang untuk spekulasi, ditentukan oleh tingkat bunga,
yang pengukurannya tidak dalam rupiah per satuan waktu, melainkan dalam
persentase persatuan waktu.
Menurut Boediono : Kedua macam inflasi yaitu inflasi
permintaan dan inflasi penawaran itu jarang sekali dijumpai dalam praktek
dengan bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi Yang tenjadi di berbagai negara
di dunja adalah kombinasi dan kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali
keduanya saling memperkuat satu sama lain. Atau disebut inflasi campuran yang
mempunyai baik unsur demand—pull maupun cost—push. Inflasi semacam ini sering
disebut mixed inflation.
Penggolongan Yang ketiga adalah
berdasarkan asal dari inflasi Di sini kita bedakan:
(1) inflasi Yang berasal dan dalam
negeri (domestic Inflation)
(2) Inflasi Yang berasal dan luar
negeri (imported inflalion)
Inflasi yang berasal dan dalam negeri
timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan
uang baru, panenan Yang gagal dan sebagainya Infiasi yang berasal dan luar
negeri adalah inflasi Yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi)
di luar negeri atau di Negara negara tetangga berdagang dengan negara
kita. Akibat kenaikan harga barang barang yang kita Inpor :
(1)
secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dan barangbarag
yang tercakup di dalamnya berasal dan impor.
(2)
secara tidak langsung menaikkan indeks harg melalui kenajkan ongkos produksj (dan
kemudian, harga jual) dan berbagal barang Yang menggufl bahan mentah atau
mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation).
(3)
secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena ada
kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang
impor kenaikan Pengeluaran Pemerintah dan swasta yang berusaha mengimbangi
kenaikan harga impor tersebut disebut demand inflation.
“Penularan’ inflasi dan luar negeri ke
dalam negeri bisa pula lewat kenaikan harga barang-barang ekspor dan saluran
saluran hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga
barang-barangg impor :
(1)
Bila harga barang-barang ekspor ,seperti kopi, teh , naik, maka indeks biaya
hidup akan naik pula sebab banang-barang ini langsung masuk dalam daftar
barang-barang yang tercakup dalam indeks harga.
(2)
Bila harga barang- barang ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya)
naik, maka ongkos produksi dan barang-barang yang menggunakan barang-barang
tersebut dalam produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan Sebagainya) akan
naik, dan kemudian harga jualnya akan naik pula (cost-inflation).
(3)
Kenaikan harga barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan eksportir (dan
juga para produsen barangbarang ekspor tersebut). Kenaikan penghasilan ini
kemudian akan dibelanjakan untuk membeli barang-banang (baik dan dalam maupun
luar negeri). Bila jumlah barang yang tersedia di pasar tidak beitambah, maka
harga-harga barang lain akan naik pu1a (demand inflation).
Penularan inflasi dan luar negeri ke
dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada negara-negara yang
perekonomiannya terbuka, yaitu yang sektor perdagangan luar negerinya penting
(seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia dan sebagainya ). Namun
berapa jauh penularan tersebut terjadi juga tergantung kepada kebijaksanaan
penierinlah yang diambil. Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter dan
perpajakan tertentu pemerintah bisa menetralisir kecenderungan inflasi yang
berasal dan luar negeri.
Disagregasi Inflasi :
- Inflasi
Inti >Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental:
– Interaksi permintaan-penawaran
– Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
– Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
2. Inflasi non Inti >Yaitu inflasi
yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Dalam hal ini terdiri dari :
- Inflasi
Volatile Food.
Inflasi yang dipengaruhi shocks dalam kelompok bahan makanan seperti panen, angguan alam, gangguan penyakit. - Inflasi
Administered Prices
Inflasi yang dipengaruhi shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan, dll
Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan
dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand
pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost
push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi
luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price)1 , dan
terjadi negative supply shocks2 akibat bencana alam dan
terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull
inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediaannya. Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate
demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor
ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi
apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini
tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang
terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan
tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).
TIMBULNYA INFLASI
“inflasi” semata-mata suatu gejala
ekonomi, dimana kecenderungan harga-harga untuk naik secara bersamaan.
Sebab-sebab timbulnya inflasi khusus dari segi ekonomi; dan penentuan
sebab-sebab “ekonomis obyektif” ini mungkin bukanlah tugas yang paling sukar.
Biasanya kita harus melampaui batas-batas ilmu ekonomi dan memasuki bidang ilmu
sosiologi dan ilmu politik.
Masalah inflasi dalam arti yang lebih
luas bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi masalah sosio-ekonomi-politis.
Ilmu ekonomi membantu kita ntuk mengidentifikasikan sebab-sebab obyektif
dari inflasi, misalnya saja karena pemerintah mencetak uang terlalu hanyak.
Kalau kita mempertanyakan mengapa pemerinlah harus mencetak uang, meskipun mereka
tahu bahwa tindakan tersebu mengakibatkan inflasi .seringkali jawabannya
terletak di bidang sosial politik.
Secara garis besar ada 3 kelompok teori
mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu, Ketiga teori
ini adalah:
- Teori kuantitas
- Teori Keynes
- Teori Strukturalis
Teori Kuantitas adalah teori yang
paling tua mengenai inflasi, namun teori ini (yang akhir-akhir ini mengalami
penyempurnaan-penyempurnaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas Chicago)
masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern in
terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan
dalam proses inflasi yaitu :
(a)
jumlah uang yang beredar
(b)
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).
Inti dari teori ini adalah sebagai
berikut:
- Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti, misalnva, kegagalan panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk semenlara waktu saja. Penambahan jumlah uang ibarat “bahan bakar” bagi api inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab musabab awal dan kenaikan harga tersebut.
- Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.
Terdapat 3 kemungkinan keadaan. Keadaan
yang pertama adalah bila masyarakat tidak (atau belum) mengharapkan
harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal mi, sebagian besar
dan penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk
menamhah likuiditasnya (yaitu, memperbesar pos Kas dalam buku neraca para
anggota masyarakat). ini berarti bahwa sebagian besar dan kenaikan jumlah uang
tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. berarti bahwa tidak akan
ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi tidak ada
kenaikan harga barang-barang (atau harga-harga mungkin naik sedikit sekali).
Dalam keadaan seperti ini, kenaikan
jumlah uang yang beredar sebesar 10% diikuti oleh kenaikan harga-harga sebesar,
misalnya 1 %. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai
dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung.
A. Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank
Sentral adalah :
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam
perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih
fokus dalam pencapaian “single objective”-nya.
Yang dimaksud dengan kestabilan nilai
rupiah adalahKestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai
tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang
secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu :
- tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan
- tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran.
Dalam hal ini, BI hanya memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan,
sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau,
distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh
karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan
stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi,
baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya
tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan.
Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan
dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah
menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.
B. Pentingnya kestabilan harga
Pentingnya pengendalian inflasi
didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil
memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
- Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
- Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa
inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan
konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi
dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga
domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada
nilai rupiah.
C. Peran Kebijakan Moneter
Mengendalikan Inflasi
Mengingat tugas spesifik yang diemban
oleh Bank Indonesia seperti tersebut di atas, Bank Indonesia tidak sepenuhnya
dapat mengendalikan inflasi, terutama tekanan inflasi yang berasal dari sisi
penawaran (cost push inflation). Bank Indonesia, melalui kebijakan
moneter, dapat mempengaruhi inflasi dari sisi permintaan, seperti investasi dan
konsumsi masyarakat. Misalnya, kebijakan kenaikan suku bunga dapat menge-‘rem’
pengeluaran masyarakat dan pemerintah sehingga dapat menurunkan permintaan
secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat menurunkan inflasi. Selain itu,
kenaikan suku bunga ini dapat menguatkan nilai tukar melalui peningkatan (positive)
interest rate differential. Demikian juga, Bank Indonesia dapat
mempengaruhi ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang konsisten dan
kredibel. Harapannya adalah sasaran (target) inflasi Bank Indonesia diacu oleh
masyarakat dan pelaku ekonomi sehingga inflasi yang terjadi dapat sama atau
mendekati sasaran inflasi. Apabila kondisi ini terjadi, maka biaya pengendalian
moneter dapat diminimalkan.
Secara teori, kebijakan moneter dapat
ditransmisikan melalui berbagai jalur (channel), yaitu jalur suku bunga,
jalur kredit perbankan, jalur neraca perusahaan, jalur nilai tukar, jalur harga
aset, dan jalur ekspektasi. Dengan melewati jalur-jalur tersebut, kebijakan
moneter akan ditransmisikan dan berpengaruh ke sektor finansial dan sektor riil
setelah beberapa waktu lamanya (lag of monetery policy) .
Selain kebijakan moneter yang bersifat
“langsung” seperti di atas, bank sentral juga dapat mempengaruhi tujuan
akhirnya secara “tidak langsung”, yaitu melalui berbagai regulasi dan himbauan
(moral suassion) kepada sektor perbankan guna mempercepat mekanisme
transmisi kebijakan moneter.
Dalam melaksanakan pengendalian moneter
Bank Indonesia diberikan kewenangan dalam menggunakan instrumen moneter berupa
tetapi tidak terbatas pada (i) Operasi Pasar Terbuka (open market operation),
(ii) penetapan tingkat diskonto (discount rate), (iii) penetapan Giro
Wajib Minimum (minimum reserve requirement), dan (iv) pengaturan kredit
atau pembiayaan.
D. Alasan Perubahan Kerangka Kerja Sebelumnya
(Base Money Targetting)
Sejak dilepasnya sistem crawling
band, Bank Indonesia mentargetkan base money (base money
targeting) dalam kerangka kebijakan moneternya. Kerangka tersebut tidak
terlepas dari upaya Bank Indonesia untuk menyerap kembali kelebihan likuiditas
di perbankan sebagai dampak dari adanya bantuan likuiditas Bank Indonesia
sebagai konsekuensi fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan program moneter ini diformalkan
sebagai bagian dari program IMF.
Base money targeting framework
didasarkan pada teori kuantitas uang (quantity theory of money), yaitu
MV=PY4 . Efektivitas kerangka ini sangat tergantung kepada
stabilitas velocity uang beredar baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Selain itu, framework ini akan berjalan baik apabila (i)
hubungan antara base money dan inflasi stabil, dan (ii) bank sentral dapat
mengendalikan uang kartal.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
menghadapi permasalahan dalam menggunakan framework ini. Hal ini disebabkan
oleh :
- Hubungan M0 dengan P dan Y tidak stabil, karena terdapat perubahan struktural pasca krisis5 .
- Seolah-olah terdapat dua nominal anchor, yaitu pencapaian sasaran inflasi dan target base money
- Respon kebijakan moneter cenderung backward looking.
- Cukup sulit mengendalikan base money, karena sebagian besar komponennya terdiri dari uang kartal yang perilakunya lebih dipengaruhi oleh permintaan (demand determined)6.
Berbagai perubahan-perubahan struktural
pasca krisis antara lain ditandai dengan :
- Penerapan floating exchange rate yang menyebabkan volatilitas nilai tukar yang lebih tinggi
- Restrukturisasi dan fungsi intermediasi perbankan terkait dengan program rekapitalisasi dan pergeseran portfolio aset dari kredit ke obligasi
- Permasalahan sektor riil yang mengakibatkan turunnya permintaan kredit.
- Munculnya berbagai inovasi produk perbankan, diantaranya reksadana.
Studi di Bank Indonesia menyimpulkan
bahwa akibat adanya perubahan struktural di atas, peran suku bunga menjadi
semakin penting (dibandingkan dengan uang beredar) dalam mempengaruhi inflasi.
Untuk itu, perlu dilakukan peninjauan ulang dan perubahan formulasi kerangka
kerja kebijakan moneter (monetary policy framework) Bank Indonesia yang
selama ini telah dianut, dari pendekatan yang sifatnya pragmatis (eclectic
approach) ke dalam suatu framework baru yang sesuai dengan
prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
E. Prinsip-Prinsip Kebijakan Moneter
yang Sehat
(i)
Mempunyai satu tujuan akhir yang diutamakan (overriding objective),
yaitu sasaran inflasi, sebagai kontribusi pokok kebijakan moneter dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, sasaran inflasi ditetapkan
dengan mempertimbangkan pengaruhnya (trade-off) dengan pertumbuhan
ekonomi.
(ii)
Kebijakan moneter bersifat antisipatif atau forward looking, yaitu
dengan mengarahkan kebijakan moneter yang ditempuh saat ini diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan pada periode yang akan datang mengingat
adanya efek tunda (lag) kebijakan moneter.
(iii)
Mengikatkan diri kepada suatu mekanisme tertentu dalam membuat pertimbangan
penentuan respon kebijakan moneter (constrained discretion). Dalam
penetapan respon kebijakan moneter, bank sentral mempertimbangkan prakiraan
inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta berbagai variabel lain. Termasuk
pertimbangan mengenai kebijakan ekonomi Pemerintah dalam kerangka koordinasi
kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain.
(iv)
Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance),
yaitu berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas.
F. Inflation Targeting Framework (ITF)
Definisi ITF > ITF merupakan
sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik
mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan.
Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil Merupakan
tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya
UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “Inflation
Targeting lite countries”.
Alasan pemilihan ITF
- Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
- Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004.
- Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
- Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.
- Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen pencapaian target.
- Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
- Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
G. Sasaran Inflasi
- Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Penetapan sasaran inflasi tersebut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (trade-off) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
- Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8% ±1%, 6%±1%, dan 5,0%±1%. (Berdasarkan siaran pers : Rapat Koordinasi Bidang Makroekonomi tanggal 17 Maret 2006). Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3% agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya .
H. Indikator Kebijakan Moneter
- Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.
- Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.
- Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
I. Respon Kebijakan Moneter
- Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:
- Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).
- Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya BI Rate.
- Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.
- Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan
- BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.
- BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
- BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka yang lebih panjang.
- Proses penetapan respon kebijakan moneter
- Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.
- Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.
- Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
- Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dalam RDG bulanan.
- Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan
- BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
- BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:
- Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan
- Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
- Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
J. Operasi Pengendalian Moneter
- Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan moneter.
- Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen:
(i)
Operasi Pasar Terbuka (OPT),
(ii)
Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities),
(iii)
Intervensi di pasar valas,
(iv)
Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan
(v)
Himbauan moral (moral suassion).
- Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
K. Koordinasi dengan Pemerintah
- Koordinasi dengan Pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter Bank Indonesia sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah dibidang perekonomian dengan tetap menjaga tugas dan wewenang masing-masing.
- Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam penetapan sasaran inflasi dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara Pemerintah (cq. Menteri Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya adalah:
- Bank Indonesia menyampaikan usulan Sasaran Inflasi kepada Pemerintah selambat-lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum periode sasaran inflasi berakhir.
- Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi yang telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka Bank Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
- Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah minimum regional, gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor. Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan hukum) juga secara tidak langsung turut mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan komitmen pengendalian inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas kertas akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi “milik bersama”. Jika sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia dan Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi tersebut. Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan lebih mudah menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka menengah dan panjang, tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu besar.
- Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah membentuk tim penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi (selanjutnya disebut Tim Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan beberapa departemen teknis. Adapun tugas tim tersebut antara lain mencakup pemberian usul mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi sumber-sumber dan potensi tekanan inflasi serta dampaknya terhadap pencapaian sasaran inflasi, merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung pencapaian sasaran inflasi, serta melakukan diseminasi mengenai sasaran dan upaya pencapaian sasaran inflasi kepada masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim Pengendalian Inflasi ini akan meningkatkan koordinasi antara otoritas moneter dengan Pemerintah secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi menjadi tujuan bersama yang credible dan achievable.
- Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam penetapan asumsi-asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik melalui rapat koordinasi dengan Departemen Keuangan (dan instansi terkait) maupun dalam pembahasan dengan DPR.
- Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di bidang perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun pertemuan-pertemuan lainnya sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi.
L. Transparansi
- Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam membentuk ekspektasi dan pencapaian sasaran inflasi.
- Komunikasi kebijakan moneter mencakup pengumuman dan penjelasan pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah kebijakan moneter yang telah dan akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur.
- Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dengan cara termasuk dan tidak terbatas pada siaran pers, konperensi pers (terutama segera setelah RDG Triwulanan untuk menjelasankan respon kebijakan moneter), publikasi (termasuk penerbitan “Laporan Kebijakan Moneter” atau “Inflation Report”), maupun penjelasan langsung kepada masyarakat.
- Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas termasuk dan tidak terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan pakar dan akademisi.
M. Akuntabilitas
- Pertanggung-jawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah ditetapkan dalam UU.
- Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan Moneter (“Monetary Policy Report” atau “Inflation Report”) secara triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang perlu.
- Laporan Kebijakan Moneter disampaikan pula kepada Pemerintah dan masyarakat luas untuk transparansi dan koordinasi.
- Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank Indonesia menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada DPR dan masyarakat yang dilakukan paling lambat Februari tahun berikutnya.
N. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK )
Istilah Stabilitas Sistem Keuangan
(SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku secara internasional. Oleh karena
itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa
suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem
tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini
dikutip beberapa definisi SSK yang diambil dari berbagai sumber:
- 1. SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan.”
- 2. SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
- 3. SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.”
Meskipun definisi yang seragam mengenai
SSK belum ada, namun untuk memahami lebih jauh soal ini, dapat dilakukan dengan
meneliti faktor-faktor yang dapat menganggu stabilitas itu sendiri.
Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan
gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik
karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat
bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Sistem
keuangan secara umum terdiri dari pasar, lembaga dan infrastruktur. Risiko yang
sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.
Meningkatnya kecenderungan globalisasi
sektor finansial yang didukung oleh perkembangan teknologi menyebabkan
sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan batas
wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam dengan
kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat
mengakibatkan sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem keuangan meningkat
dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi
ketidakstabilan tersebut.
Identifikasi terhadap sumber
ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat
kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul
serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil
identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh
risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan bersifat sistemik
sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.
Dua Model Perekonomian
Dalam menganalisa suatu perkenomian,
dikenal dua model perekonomian, yaitu perekonomian tertutup dan perekonomian
terbuka.
Perekonomian tertutup
Adalah model perekonomian yang pada
pelakunya, khususnya Produsen dan Konsumen, secara sederhana akan melakukan
kegiatan dalam penjualan dan pembelian di pasar yang saling melengkapi untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya masing-masing. Dalam transaksi pasar
tersebut, mereka akan terikat dengan kontrak dagang atau kesepakatan jual beli,
dan kemudian ditetapkanlah harga jual atau harga beli dari kegiatan tersebut.
Untuk memfasilitasi kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi ini secara
efektif maka sistem perekonomian memerlukan Lembaga perbankan dan lembaga
keuangan lainnya seperti pasar modal, lembaga asuransi, lembaga penjamin,
pegadaian atau lembaga keuangan mikro yang terdapat di daerah pedesaan. Lembaga
Perbankan peranannya sangat vital untuk mengumpulkan dana-dana yang ada di
masyarakat, yang selanjutnya mereka akan melakukan pengalokasian dana tersebut
melalui pemberian fasilitas perkreditan atau jasa perbankan lainnya. Hal
ini dikatakan ekonomi pasar tertutup, karena didalamnya belum
termasuk peran luar negeri dalam sistem ekonomi tersebut.
Pada sistem ekonomi yang terbuka,
Terdapat kemungkinan dari produsen
untuk melakukan kegiatan ekspor barang dan produk dagangan dengan tujuan
pasar-pasar di negara lain atau sebaliknya melakukan kegiatan impor atas bahan
mentah dan bahan penolong serta mesin atau barang jadi dari luar negara.
Dalam model terbuka ini jasa perbankan dan lembaga keuangan dapat juga berasal
dari luar negeri dan kita dihadapkan pada sistem perekonomian yang semakin
menyatu (the borderless economy) yang disebut dengan the global economy. 6Dengan
memasukkan sektor luar negeri ke dalam model penghitungan pendapatan nasional,
berarti kita menamijahkan dua variabel dalam model perekonomian tiga sektor,
yaitu variabel ekspor (X) dan variabel impor (M).
Dengan demikian untuk menghitung
pendapatan nasional keseimbangan pada perekonomian terbuka dilakukan dengan
jalan menyamakan antara sisi pendapatan dan sisi pengeluaran.Dalam sistem
perekonomian terbuka ini, pengeluaran untuk impor dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu apakah impor itu tergantung dari variabel lain, atau tidak (nilainya
dianggap tetap).Untuk impor yang nilainya tetap dapat dituliskan sebagai
berikut :M = M0; di mana M0 adalah besarnya impor,
Sedangkan impor yang nilainya tergantung dari besar kecilnya pendapatan
dirumuskan sebagai berikut: M= M0 + mY, di mana Y adalah pendapatn
dan m adalah Marginal Propensity to ImportMenurut Tedi Heriayanto 8,
tolok ukur yang baik untuk menilai kadar keterbukaan suatu perekonomian adalah
rasio ekspor dan impor terhadap total GNP. Jika rasio ekspor-impor terhadap GNP
melebihi 50% maka dikatakan perekonomian lebih terbuka. Perdagangan
internasional dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :
- Keanekaragaman kondisi produksi. Perdagangan diperlukan karena adanya keanekaragaman kondisi produksi di setiap negara. Misalnya, negara A karena beriklim tropis dapat berspesialisasi memproduksi pisang, kopi; untuk dipertukarkan dengan barang dan jasa dari negara lain.
- Penghematan biaya. Alasan kedua adalah timbulnya increasing returns to scale (penurunan biaya pada skala produksi yang besar). Banyak proses produksi menikmati skala ekonomis, artinya proses produksi tersebut cenderung memiliki biaya produksi rata-rata yang lebih rendah ketika volume produksi ditingkatkan. Cara apa yang lebih baik untuk meningkatkan produksi selain menjualnya ke pasar global ?
- Perbedaan selera. Sekalipun kondisi produksi di semua daerah serupa, setiap negara mungkin akan melakukan perdagangan jika selera mereka berbeda. Contohnya, negara A dan B menghasilkan daging sapi dan daging ayam dalam jumlah yang hampir sama, tetapi karena masyarakat negara A tidak menyukai daging sapi, sedang negara B tidak menyukai daging ayam, dengan demikian ekspor yang saling menguntungkan dapat terjadi di antara kedua negara tersebut, yaitu bila negara A mengimpor daging ayam dan mengekspor daging sapi, sebaliknya negara B mengimpor daging sapi dan mengekspor daging ayam.
- Prinsip keunggulan komparatif (comparative advantage). Prinsip ini mengatakan bahwa setiap negara akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekpor barang dan jasa yang biayanya relatif lebih rendah (artinya lebih efisien dibanding negara lain); sebaliknya setiap negara akan mengimpor barang dan jasa yang biaya produksinya relatif lebih tinggi (artinya kurang efisien dibanding negara lain).
Dengan adanya perekonomian terbuka dan
setiap negara berkonsentrasi pada bidang yang memiliki keunggulan komparatif,
maka kehidupan semua orang akan menjadi lebih baik. Pekerja di setiap negara
dapat memperoleh konsumsi dalam jumlah yang meningkat untuk jumlah jam kerja
yang sama.
Neraca Pembayaran Internasional
Berbagai permasalahan ekonomi dewasa
ini sebagian besar sangat terkait dengan permasalahan defisit neraca pembayaran
dan utang atau kredit luar negerinya.
Neraca pembayaran internasional
(international balance of payment) suatu negara merupakan laporan keuangan
negara yang bersangkutan atas semua transaksi ekonomi dengan negara-negara lain
yang disusun secara sistematis; neraca ini menghitung dan mencatat semua arus
barang, jasa, dan modal antara suatu negara dengan negara lain.
Neraca pembayaran luar negeri suatu
negara pada umumnya dibagi ke dalam empat bagian, yaitu:
- Transaksi berjalan (current account). Termasuk ke dalamnya barang dagangan (neraca perdagangan), pos-pos tak berwujud (jasa, dan pendapatan dari investasi netto), dan ekpor atau impor serta bantuan pemerintah.
- Neraca modal (capital account). Termasuk ke dalamnya pembelanjaan swasta dan pemerintah dan penjualan aset seperti saham, obligasi, dan real estate).
- Penyimpangan statistik.
- Penyelesaian resmi (official settlements).
Total item yang termasuk bagian 1
biasanya disebut saldo transaksi berjalan. Hal ini memuat selisih antara total
ekspor dengan total impor barang dan jasa. Bila total ekspor melebihi total
impor barang dan jasa maka akan terjadi surplus transaksi berjalan, sebaliknya
akan terjadi defisit transaksi berjalan.
Sejarah menunjukkan bahwa setiap negara
cenderung untuk memiliki beberapa tahapan dalam neraca pembayaran mereka, mulai
dari negara debitur muda hingga negara kreditur madya.
Negara debitur muda
Dalam tahapan ini suatu negara lebih
banyak mengimpor daripada mengekspor, selisih di antara keduanya ditutup
melalui pinjaman luar negeri, sehingga memungkinkan negara tersebut menumpuk
modal.
Negara debitur madya
Dalam tahapan ini neraca perdagangan
suatu negara telah surplus, akan tetapi pertumbuhan dividen dan bunga yang
harus dibayarkan untuk pinjaman luar negeri, menjadikan saldo neraca modalnya
kurang seimbang.
Negara kreditur muda
Dalam masa ini suatu negara
mengembangkan ekspornya secara luar biasa. Negara meminjamkan uang kepada
negara-negara lain.
Negara kreditur madya
Pada tahapan ini, pendapatan modal dan
investasi luar negeri memberikan surplus cukup besar terhadap pos tak tampak,
yang kemudian diseimbangkan dengan defisit neraca perdagangan.
Nilai ekspor dan impor yang terlihat
dalam saldo transaksi berjalan, dipengaruhi oleh kurs mata uang yang digunakan.
Selain itu kekuatan nilai tukar (kurs) akan mempengaruhi nilai ekspor
atau impor dari suatu negara terhadap negara lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar